Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Brexit, Kemenangan Rakyat Inggris yang Nasionalis

Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebuah keputusan memenuhi janji kampanye telah dilakukan David Cameron, Perdana Menteri Inggris. Dia mengundurkan diri dari jabatannya setelah referendum apakah akan tetap bersama atau keluar dari Uni Eropa (UE) menghasilkan 52 keluar dan 48 tetap bersama UE.

Mundur dari jabatan ini adalah konsekuensi logis karena saat kampanye, Mei 2015, Cameron menjanjikan referendum Brexit pada saat dirinya sendiri mendukung Inggris tetap bersama UE.

Tema kampanye adalah "Britain Stronger in Europe".

Kubu lawan menghendaki keluar dari UE dengan tema kampanye "Good Bye Europe, Hello World".

Dua kubu ini begitu sengit bertarung sebagaimana tampak pada hasil referendum.

Paling tidak, ada lima hal yang dipertentangkan. Kelima hal itu adalah perdagangan luar negeri, iuran keanggotaan UE, regulasi terpusat UE, imigrasi dan ketenagakerjaan, serta peran internasional Inggris.

Bagi kubu Cameron dan kawan-kawan, kelima hal itu menguntungkan Inggris. Sementara itu, kubu lawannya menyatakan sebaliknya, Inggris merugi.

Dalam perdagangan internasional, misalnya, ekspor Inggris ke UE mencapai 50 persen, sedangkan ekspor UE ke Inggris hanya 6,6 persen. Namun, Inggris harus membayar iuran keanggotaan sebesar 350 juta pound sterling per pekannya ke UE.

Inggris juga merasa peranan internasionalnya tereduksi oleh UE dan migrasi ke Inggris terus meningkat. Dampak sosialnya adalah ketimpangan ekonomi dan konflik sosial secara horizontal yang meningkat.

Pertimbangan ini yang membuat kubu "good bye Europe" dipandang lebih logis oleh para pemilik suara.

Yang lebih menarik adalah kekalahan kubu Cameron dan kawan-kawan nyaris bukan merupakan harapan bagi banyak kalangan di dunia.

Harapan ini bisa dipahami karena secara politis AS telah melakukan berbagai kebijakan yang mendukung Cameron walau Cameron sempat disentak melalui Panama Papers. AS tidak ingin gagasannya kandas.

Hal itu bukan saja tampak pada sikap Obama, bahkan terpapar jelas pada berbagai kalangan petinggi AS, termasuk petinggi AS di Indonesia.

Selama hampir 4 bulan pemerintahan Obama mendukung kampanye "Britain Stronger in Europe".

Demi konsisten pada cita-cita integrasi ekonomi (bermuatan liberalisasi seluruh sektor dan kebebasan berusaha) dan mencegah Uni Eropa menjadi lemah, Obama meminta komitmen Jerman dan Prancis. Akan tetapi, apalah arti komitmen dua negara ini jika Inggris keluar.

Sementara itu, kubu Inggris yang bersikeras keluar dari UE lebih disebabkan kesadaran bahwa selama bergabung dengan UE, nilai pound sterling terus melemah. Di balik ini, Inggris menyuarakan kepentingan nasionalnya.

Dampak seketika dari hasil referendum itu adalah semua pasar uang melemah karena memang London merupakan pusat perdagangan mata uang asing (forex) dan komoditas strategis, seperti emas, perak, minyak, dan pasar derivatif lainnya.

Hanya mata uang yen yang bertahan. Lalu, sebagian kalangan menyebutkan bahwa masa depan perekonomian global makin tidak jelas. Volatilitas makin menjadi, sementara Inggris sendiri terancam resesi pada saat AS sudah menuju resesi.

Dampak terhadap Indonesia Secara khusus dampak terhadap Indonesia lebih karena sentakan perekonomian global yang terpengaruh oleh keputusan referendum. Hal ini disebabkan Inggris dan Uni Eropa tidak termasuk dalam 10 negara berpengaruh dalam ekspor dan impor ke Indonesia. Oleh karena itu, Bank Indonesia memberi sinyal aman.

Terkait dengan utang luar negeri Indonesia, dari total utang 318,979 miliar dolar AS, mata uang dolar AS menguasai 69,07 persen, dan dalam bentuk pound sterling hanya 349 juta dolar AS, serta dalam bentuk euro money sebanyak 8.294 juta dolar AS atau sekitar 0,026 persen dari total utang luar negeri.

Namun, sebagaimana kajian yang muncul di Eropa dan AS sendiri, teori integrasi ekonomi menjadi tidak sepenuhnya sahih. Stiglitz menyebut bahwa model kebijakan liberal dalam bentang integrasi ekonomi menunjukkan kegagalan sistem dan melahirkan ketimpangan. Krugman, Diamonds, dan beberapa ekonom lain di AS juga berpendapat relatif sama.

Lalu, bagaimana dengan Masyarakat Ekonomi Asean? Konstruksi integrasi ekonomi MEA tentu saja berbeda dengan UE. MEA melompati beberapa tahap dari langkah-langkah terbentuknya kawasan ekonomi terintegrasi, seperti tahap Common Market dan Economic Union dan langsung ke integrasi ekonomi total.

Belajar dari cara UE mengatasi krisis melalui ekspansi moneter dan konstraksi fiskal, sedangkan AS mengatasinya dengan ekspansi moneter dan fiskal, muncul pertanyaan, setelah berada pada era MEA, kebijakan yang mana yang akan Indonesia pilih jika terjadi krisis? Tidak ada resep kebijakan 100 persen mujarab jika pilihan kebijakannya tetap sama: liberalisasi tanpa batas. Ini berarti Indonesia patut dan layak menoleh ke dalam dan tidak melulu membebek pada kemauan MEA: "outward looking".

Keterbukaan tanpa batas sama dengan memberi peluang pihak lain mendikte ekonomi domestik. Alasan inilah yang membuat kubu "good bye UE, hello world" menang.

*) Ichsanuddin Noorsy adalah pakar ekonomi politik

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: