Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Cukai Kemasan Plastik Dinilai Tak Tepat Sasaran

Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah berencana mengenakan cukai pada penggunaan platik untuk kemasan makanan dan minuman. Rencana ini ditolak oleh kalangan produsen makanan dan minuman kemasan platik.

Ketua Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik, Triyono mengatakan, alasan produsen karena dapat merugikan produsen karena penggunaan plastik menjadi semakin mahal. Dengan semakin mahalnya produk yang dijual maka akan menurunkan daya beli masyarakat yang akan berpengaruh pada menurunnya ekonomi.

"Selain itu pengenaan cuka kemasan platik juga tidak tepat sasaran, karena kemasan plastik cenderung minim di tempat sampah karena sudah dipungut untuk didaur ulang," jelas Triyono.

Terkait dengan dampak pengenaan cukai, dijelaskan oleh Eugenia Mardanugraha, dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pengenaan cukai pada kemasan platik akan menimbulkan kenaikan harga antara Rp200 hingga Rp400 per liter air minum, dengan persentase antara 4% hingga 27%. Dengan koefisien elastisitas -1,60 hingga -0,46, maka persentase penurunan permintaan antara 3% hingga 19%.

Akibat penurunan tersebut, jika dihitunh rata-rata konsumsi per tahun, maka penurunan permintaan mencapai Rp10,16 triliun. Dengan penerimaan cukai yang diperkirakan hanya Rp1,9 triliun, dengan penurunan PPN dan PPH yang mencapai Rp2,44 tiliun, maka pemerintah memiliki potensi kerugian mencapai Rp528,72 miliar.

Belum lagi pemerintah harus menyiapkan infrastruktur dan mekanisme yang digunakan. Dalam hal infrastruktur pemerintah harus menyiapkan label cukai, dan mekanisme penetapan untuk berbagai jenis kemasan menurutnya sangat rumit.

"Cukainya dalam bentuk label atau apa, atau hanya tarifnya saja, semuanya belum jelas," katanya.

Sementara infrastruktur dalam pengenaan cukai rokok selama ini dianggap juga belum memadai, sebab masih banyak celah untuk membuat banyak cukai palsu. Maka seharusnya itu dulu yang harus dibangun.

"Tarif cuka rokok juga belum optimum, buktinya konsumsi rokok belum turun. Kalau mau meningkatkan pendapatan dari cukai dapat dilakukan dari sana (rokok)," imbuh Eugenia.

Dari sisi dampak lingkungan, dijelaskan oleh Gabriel Andari Kristanto, juga dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa di pusat pengelolaan sampah di Bantar Gebang, ternyata sangat sedikit ditemuka sampah plastik dari bekas kemasan makanan dan minuman. Sampah di sana menurutnya didominasi oleh sampah organik, dan untuk sampah plastik didominasi plastik kresek.

Gabriel mengungkapkan, dari temuan tersebut ternyata sampah kemasan seperti botol minuman sudah hilang dari sirkulasi karena dipungut oleh para pemungut. Itu membuktikan bahwa kemasan plastik memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sampah itu dikumpulkan kemudian dijual untuk selanjutnya akan didaur ulang oleh pendaur ulang informal.

"Sementara sampah plastik kresek masih banyak karena nilai ekonomisnya sangat kecil, sehingga pemungut tidak berminat mengambilnya," jelas Gabriel.

Oleh sebab itu, Triyono menyimpulkan, yang paling penting adalah bagaimana menyadarkan masyarakat untuk mengelola sampah dengan baik. Dalam membuang sampah dikelompokkan berdasarkan jenis sampah agar mudah didaur ulang untuk sampah an organik seperti plastik.

"Ini butuh kerja sama semua pihak, masyarakat, pengusaha dan pemerintah," jelasnya.

Menurut Triyono lagi, saat ini plastik menjadi bahan paling ramah industri karena biaya produksinya yang sangat murah. Hingga saat ini biaya produksi plastik belum ada yang lebih murah.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: