Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sebulan Brexit, Inggris Belum Keluar dari UE (1)

Warta Ekonomi, Jakarta -

Banyak orang mengetahui bahwa Inggris Raya telah mengadakan referendum pada tanggal 23 Juni 2016, yang hasilnya menyatakan mayoritas warga negeri kerajaan itu ingin keluar dari Uni Eropa, fenomena yang disebut sebagai "Brexit".

Namun, mungkin banyak pula yang kurang memahami bahwa saat ini, Inggris Raya masih menjadi bagian dari Uni Eropa (UE) dan seakan-akan enggan keluar dari organisasi regional tersebut.

Padahal, Inggris juga telah memiliki kepala pemerintahan baru, yaitu Perdana Menteri Theresa May yang sejak pekan lalu menggantikan David Cameron yang ingin Inggris tidak keluar dari UE.

"Brexit berarti Brexit," kata Theresa May dengan gagah dalam pidato pengukuhannya sebagai perdana menteri, sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters.

Namun, PM May sepertinya tidak ingin menerapkan Pasal 50 Perjanjian Lisbon, yang bakal meresmikan diresmikan 2 tahun negosiasi keluarnya suatu negara dari UE.

Wanita kedua yang menjadi PM Inggris Raya itu lebih memutuskan untuk mengunjungi dua negara di Eropa, yaitu Jerman dan Prancis.

Kantor berita Xinhua melaporkan, Presiden Prancis Francois Hollande pada hari Kamis (22/7/2016) mendesak Inggris untuk mempersiapkan pembicaraan keluar dari EU atau Brexit secepat mungkin.

Menghadiri konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Inggris Theresa May di Paris, Hollande mengatakan bahwa Prancis menghormati keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa, tetapi membuka negosiasi lebih cepat tentang Brexit lebih baik.

"Tidak akan ada diskusi, pranegosiasi sebelum negosiasi, tetapi bisa ada persiapan untuk negosiasi ini. Kami memahami bahwa pemerintah Anda, yang baru saja dibentuk, perlu waktu. Akan tetapi, lebih cepat lebih baik untuk kepentingan bersama," Hollande mengatakan kepada May.

Peringatan "ketidakpastian" sebagai akibat dari Brexit, Hollande menekankan bahwa Inggris harus menghormati pergerakan bebas dari warga negara Uni Eropa jika ingin tetap menjadi bagian dari serikat perdagangan bebas.

May mengatakan bahwa dia ingin memastikan bahwa negosiasi untuk Inggris meninggalkan Uni Eropa dilakukan dengan cara yang tenang dan tertib serta konstruktif.

"Saya berharap bahwa kami dapat membuat sebagian besar dari 6 bulan ke depan untuk mempersiapkan diskusi ini dengan cara yang konstruktif sehingga kami memaksimalkan peluang untuk keduanya, Inggris dan Uni Eropa," tambah PM Inggris.

Salah satu dampak yang jelas setelah warga Inggris memutuskan Brexit adalah menaiknya laporan "hate crimes" (kasus kebencian) karena kemenangan Brexit seakan-akan menjustifikasi adanya perlakuan buruk terhadap warga asing di Inggris.

Berdasarkan laporan kantor berita Reuters, polisi di Inggris telah menerima hampir sekitar 6.200 laporan kasus kebencian, hanya dalam jangka waktu 1 bulan setelah referendum.

Laporan tersebut biasanya berupa kejahatan, seperti pelecehan, penyerangan, dan tindak kekerasan lainnya, misalnya serangan verbal, bahkan ada juga yang melaporkan peludahan.

Hal tersebut hanya karena para korban dianggap sebagai elemen asing dari kehidupan di Inggris meski mereka yang menderita serangan itu juga merupakan warga negara Inggris.

Fenomena kebencian terhadap imigran dan pendatang di Inggris juga sebenarnya bisa diduga karena banyak pihak dari kubu Brexit yang berkampanye dengan gerakan dan gaya yang memicu xenofobia dan rasisme. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: