Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Perlu Persiapkan Ketersediaan Listrik 'Cold Storage'

Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah perlu mempersiapkan ketersediaan listrik yang diperlukan untuk memberi tenaga bagi "cold storage" (fasilitas pendingin) yang diperlukan untuk hasil tangkapan ikan nelayan di berbagai daerah.

"Pemerintah harusnya mempersiapkan fasilitas infrastruktur dasar seperti listrik untuk cold storage," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo kepada Antara di Jakarta, Kamis (28/7/2016).

Menurut Herwindo, institusi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seharusnya juga tidak perlu membangun "cold storage" tetapi memberikan kemudahan bagi pihak swasta untuk membangun fasilitas itu.

Dia mengingatkan bahwa aturan terbukanya investasi asing untuk sektor pengolahan ikan tetapi tertutup untuk sektor penangkapan ikan akan berhasil bila investasi yang ditanamkan berskala kecil atau menengah.

Namun jika investasi asing pengolahan ikan berskala besar, lanjutnya, maka biasanya pihak investor membutuhkan pasokan baku perikanan yang banyak sehingga biasanya investor juga menginginkan memiliki armada kapal penangkapan ikan mereka sendiri.

Sebelumnya, Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mengharapkan dana repatriasi hasil dari pengampunan pajak dapat digunakan untuk membangun pembangkit-pembangkit listrik hingga 35.000 megawatt (MW) guna mengatasi energi itu di berbagai daerah.

"Kami usulkan hidupkan lagi program kerja sama pemerintah dengan swasta atau public private partnership (PPP) utamanya untuk pembiayaan listrik 35.000 MW," kata Ketua Harian APLSI Arthur Simatupang.

Menurut dia, program tax amnesty bisa bermanfaat bagi sektor energi utamanya program 35.000 MW, sehingga mengusulkan agar pemerintah menghidupkan kembali program untuk menggiring dana repatriasi.

Ia berpendapat, bila program PPP dikawinkan dengan proyek 35.000 MW, dan kemudian dibiayai oleh bank penampung dana repatriasi, skema kerja sama ini akan sangat solid serta akan mempercepat eksekusi program.

"Bila skema ini jalan akan meningkatnya kejelasan dan kepastian aturan main untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi investasi di bidang infrastruktur. Juga bisa meminimalisir resiko, meningkatkan kepastian masa depan investasi," kata Arthur.

Skema PPP sudah berjalan sejak tahun 2005 dan dikenal dengan istilah Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS). Saat ini, KPS telah berganti nomenklatur menjadi Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebagaimana diatur lewat Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Sementara itu, Sekjen APLSI Priamanaya Djan mengatakan, program 35.000 MW harus memanfaatkan aliran dana masuk dari program tax amnesty.

"Dana repatriasi cukup besar diproyeksikan. Sebaiknya, instrument investasi yang disiapkan tidak hanya disektor keuangan dan pasar modal, dia harus menetes ke infrastruktur dan energi agar lebih produktif," kata Pria.

Apalagi, jelas dia, pembiayaan program 35.000 MW membutuhkan dana investasi cukup besar yakni Rp 1.189 triliun, serta sebagian besar masalah yang dihadapi produsen adalah kendala sumber pendanaan. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: