Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Memaknai Tone at the Top dan Walk the Talk dengan Konsep Hipokrit

Oleh: ,

Warta Ekonomi, Jakarta -

Pada tulisan sebelumnya, penulis berpendapat prinsip yang paling fundamental di dalam lingkungan pengendalian dan tata kelola yang sehat adalah adanya tone at the top dan walk the talk.

Tone at the top secara sederhana diartikan sebagai pernyataan, ekspresi, ucapan, kehendak, warna yang berasal dari pucuk manajemen atas. Tone at the top adalah ciri kepemimpinan yang baik. Stein & Allcorn (2014) memberikan model good enough leader atau GEL yang merupakan pengembangan konsep good enough mothering yang dibuat oleh DW Winnicott (1965). GEL berbeda dengan kepemimpinan yang hard dan soft. Karakteristik GEL adalah adanya nilai keterbukaan, inklusif, transparan, kolaborasi, saling percaya, dan saling menghargai. Penulis menggarisbawahi transparan dan saling percaya.

Menurut penulis, tone at the top tidak dapat berdiri sendiri. Tone at the top ibarat uang logam yang memiliki dua pasang muka, harus disertai dengan walk the talk.

Walk the talk dapat diartikan secara sederhana sebagai konsistensi antara yang diucapkan dengan yang dijalankan. Dengan kata lain apa yang menjadi tone at the top mestinya secara nyata terjadi walk the talk. Bahasa populernya adalah jangan hanya sekedar bicara. Bicara saja mudah, yang penting perwujudannya.

Kepemimpinan memang selalu dilihat dari output dan outcome-nya, yang bukan hanya diukur dari pencapaian kuantitatif tetapi pencapaian kualitatif seperti tingkat values engagement. Contoh implementasi tingkat values engagement adalah disiplin, gotong royong, kejujuran, dan value lainnya.

Engelbrecht et.al (2014) menyatakan peningkatan engagement di pekerjaan menjadi outcome penting untuk keberhasilan organisasional. Hubungan yang dilandasi etika dan kepercayaan antara pemimpin dan pengikutnya berkontribusi positif kepada engagement di pekerjaan.

Apa yang terjadi jika tone at the top tidak sama dengan walk the talk? Kita ambil contoh penelitian Englebrecht (2014) yang menyatakan ada hubungan positif antara kepercayaan kepada pemimpin dengan engagement di pekerjaan dan antara kepemimpnan yang beretika dengan kepercayaan kepada pemimpin. Secara eksplisit jika tone at the top tidak sama dengan walk the talk maka disebut sebagai hipokrit.

Hipokrit di lingkungan kerja (organizational hypocrisy) menurut Philippe & Koehler (2005) terbukti menyebabkan pegawai berniat untuk memilih keluar dari pekerjaannya. Individu melihat kesesuaian perceived culture dan tindakan manajemen sebagai sumber dan keluaran untuk membandingkan konsistensi antara tone at the top dengan walk the talk. Menurut penulis, pilihan keluar dari pekerjaan adalah cara individu melepaskan diri dari kemuakan hipokrit.

Sheldon & Krieger (2014) menjelaskan seseorang cenderung bicara (talk) daripada membuktikan omongannya (walked). Menurut Sheldon & Krieger, hal ini dapat dianggap sebagai bukti sifat hipokrit di mana orang nyatanya tidak mewujudkan komitmen. Pengujian berikutnya oleh Sheldon & Krieger, kesenjangan (gap) antara talking dan walking lebih besar pada nilai intrinsik dari pada nilai ekstrinsik.

Extrinsic values menjadi problem bila lebih menonjol daripada intrinsic values di dalam suatu organizational value system secara keseluruhan. Artinya, pada riset Sheldon & Krieger, orang akan mengutamakan projecting an appealing and attractive image, achieving affluence and financial success, dan being known and admired by many people daripada nilai luhur yang tersembunyi di dalam nurani.

Hipokrit dan penipu (cheater) merusak atau meruntuhkan praktik yang esensial agar komunitas kita yang bermoral dan kognitif dapat berfungsi dengan baik. Ada anggapan bahwa komunitas bertanggung jawab atas berkembangnya perilaku hipokrit dan cheating. Artinya, bila praktik kita memungkinkan orang memperoleh reputasi (prestasi) yang hakikatnya tidak berakar pada perbuatannya maka orang itu akan mencoba mengeksploitasi celah kelemahan (loophole) sistem yang ada untuk memperoleh reputasi.

Demikian pula jika praktik kehidupan kita lebih mendorong yang artifisial daripada yang natural maka orang akan cenderung berbuat hipokrit atau cheating. Jika "tindakan" ini malah diberikan penghargaan (reward), orang tersebut tampak lebih tertarik mengadopsi perilaku hipokrit atau cheating (McKinnon, 2005).

Kembali kepada konsep GEL yang salah satunya dilandasi nilai keterbukaan, transparan, dan saling percaya, maka perilaku hipokrit atau cheating menimbulkan konflik di dalam organisasi atau masyarakat. Dalam contoh aplikasi manajemen, hipokrit dapat memicu pegawai untuk keluar dari lingkungan kerjanya. Apabila perilaku hipokrit atau cheating dihubungkan dengan korupi atau fraud maka apapun program atau insiatif dan biaya yang dikeluarkannya adalah tidak efektif atau tidak menghasilkan kinerja yang substansial dan natural atau hanya merupakan artifisial.

Lebih jauh lagi, pencegahan fraud atau korupsi mestinya dapat dimulai dari mengikis perilaku hipokrit atau cheating. Artinya pencegahan fraud atau korupsi harus nyata dimulai dan dibuktikan oleh masing-masing pemimpin di semua tingkatan baik di sektor publik, swasta komersial, ataupun nirlaba.

Bagaimana mungkin kepercayaan dan respek muncul jika masih ada dusta (hipokrit atau cheating)? Pemimpin yang GEL adalah yang sesuai antara tone at the top dan walk the talk, artinya mengikis perilaku hipokrit atau cheating pada dirinya sehingga apapun program antikorupsi atau antifraud-nya akan memperoleh dukungan dan keefektifan.

Untuk menunjukkan bukti bahwa hipokrit atau cheating tidak lagi menjadi praktik budaya, kebiasaan, dan nilai organisasional maka pemimpin harus menunjukkan dan mengutamakan nilai intrinsik daripada nilai ekstrinsik, mengutamakan substansial dan natural ketimbang artifisial. Dalam seminar di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung tahun 2015, penulis menyatakan bahwa pada awal negara Indonesia berdiri, kita telah memiliki pemimpin yang GEL yang seharusnya dapat menjadi panutan (role of model) dan seharusnya Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang tidak hipokrit.

Mari kita lihat contoh kehidupan Agus Salim, Bung Hatta, dan Moh. Natsir. Natsir hidup dalam kesederhanaan, tidak punya barang mewah. Ia lebih baik tampil dengan jas bertambal daripada makan hasil korupsi. Natsir menolak hadiah mobil dari koleganya padahal di rumahnya hanya ada mobil yang sudah butut. Pegawai Kementerian Penerangan pernah urunan membelikan Natsir kemeja baru untuk menggantikan kemejanya yang lusuh agar beliau tampak pantas sebagai Menteri Penerangan.

Agus Salim tidak berpikir kenaikan gaji, berpikir gajinya saja tidak pernah. Agus Salim tinggal di gang di rumah kontrakannya yang kecil padahal beliau adalah Menteri Luar Negeri. Di rumahnya yang kecil dam sudah dipenuhi tumpukan koper, beliau setiap enam bulan sekali mengubah tata letak meja, kursi, lemari, sampai tempat tidurnya untuk menghilangkan kebosanan (karena rumahnya yang kecil). Agus Salim berpindah kontrakan. Bahkan ketika anaknya meninggal, Agus Salim tidak mampu membeli bungkus kafan.

Demikian pula Bung Hatta, wakil presiden pertama Indonesia, yang tidak mampu membeli sepatu bally sampai akhir hayatnya, tidak cukup tabungan istrinya untuk membeli mesin jahit. Ketika tabungan untuk membeli mesin jahit hampir cukup membeli, keinginan untuk membeli pun kandas karena adanya sanering dan Bung Hatta kokoh merahasiakan kebijakan sanering kepada istrinya sekalipun. Bung Hatta bahkan kesulitan membayar tagihan air, listrik, dan ireda (PBB) untuk rumahnya.

Bung Hatta pernah menyuruh asistennya mengembalikan dana taktis wakil presiden, padahal jika tidak dikembalikan pun tidak mengapa, dan Bung Hatta pergi haji dengan tabungannya, bukan dengan fasilitas negara. Disebutkan juga, Bung Hatta menolak jabatan komisaris dari perusahaan nasional maupun asing karena merasa bertanggung jawab kepada rakyat dengan jabatan tersebut.

Contoh-contoh di atas adalah suatu perilaku dan sikap yang sangat langka saat ini. Menurut penulis, tokoh-tokoh bangsa ini tidak mencari pencitraan dan popularitas namun memang nilai intrinsik mereka luar biasa dan tidak silau dengan nilai ekstrinsik. Nilai-nilai mulia itu tidak lahir dengan sekejap melainkan lahir dari pendidikan yang mulia di keluarga, sekolah, dan lingkungan. Dengan semakin rusaknya nilai sosial di Indonesia dan belum ditemukannya kepemimpinan tanpa hipokrit yang dicontohkan Bung Hatta, Agus Salim, dan Natsir maka dapat dibayangkan beratnya upaya pemberantasan fraud dan menciptakan Indonesia bermartabat.

Dalam konteks perusahaan di mana nilai-nilai kapitalisme semakin dahsyat meresap ke pola pikir masyarakat, ditambah nilai-nilai sosial masyarakat yang semakin luntur dari nilai luhur maka akan diperoleh kesemuan atau artifisial dan hanya upaya mengejar materi dan nilai-nilai ekstrinsik. Dalam kondisi ini, upaya pemberantasan fraud di perusahaan belum menyentuh nilai-nilai substansial (intrinsik).

Sebagai refleksi dan renungan, 39 tahun lalu Mochtar Lubis pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta memberikan pidato kebudayaan Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Ia mengulas tentang sifat-sifat manusia Indonesia (yang bisa jadi masih relevan dan tumbuh subur sampai sekarang), yaitu: hipokrit alias munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, watak dan karakter yang lemah, artistik, percaya pada takhayul.

Oleh karena itu, marilah kita kembali kepada nilai-nilai intrinsik yang bersumber dari nilai luhur insan mulia, antara lain menjauhkan sikap dan perilaku hipokrit. Wujudkan secara nyata yang menjadi omongan dan komitmen. Lebih baik bila perwujudan tersebut tidak bersifat semu dan artifisial.

Menurut Siti Faridah (2013) dalam jurnal Corruption: Delving into the Muddy Water Through the Lens of Islam, hipokrit adalah sifat munafik sebagaimana hadits Nabi SAW melalui Abu Hurairah yaitu the signs of the hypocrites are three: when he speaks, he lies; and when he makes a promise, he breaks it; and when he is charged with a trust, he becomes dishonest.

Penulis: Diaz Priantara, Board of ACFE Indonesia Chapter and Board of IIA Indonesia

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: