Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Operasi Car Wash atas Fraud di Petrobras Menjerat Mantan Presiden Brazil

Oleh: ,

Warta Ekonomi, Jakarta -

Pekan lalu saya membaca berita Reuters berjudul  “Brazil's Lula charged as 'top boss' of Petrobras graft scheme”. Judul ini menarik karena paling tidak ada 5 daya pikat dan pelajaran dalam berita ini. 

Yang pertama, yang dituduh atau didakwa oleh Jaksa adalah seorang mantan Presiden Brazil yaitu Luiz Inacio Lula da Silva (Lula). Lula menjabat presiden sebelum digantikan oleh Presiden Dilma Rousseff yang kemudian di-impeach oleh Kongres atas tuduhan melanggar aturan anggaran negara di tengah-tengah kegusaran masyarakat atas penanganan Pemerintah Brazil terhadap resesi yang terburuk melanda Brazil sejak tahun 1930. Lula mulai diinvestigasi sejak Maret 2016.

Jaksa akan mendakwa Lula dengan korupsi dan pencucian uang untuk modus kickback yang menyebabkan kerugian Petrobras (Perusahaan minyak negara di Brazil, saham Pemerintah Brazil di Petrobas sebesar 64%) sebesar USD 12,6 milyar. Lula pribadi juga dituduh Jaksa menerima suap USD1,11 juta  termasuk apartemen mewah di Sao Paolo. Jaksa bahkan menuduh Lula sebagai aktor atau  figur sentral dalam modus korupsi ini karena Lula adalah yang mengendalikan Partai Buruh (Workers Party). Tuduhan terhadap Lula berasal dari pengembangan hasil operasi car wash yang digulirkan sejak 17 Maret 2014 yang awalnya adalah menginvestigasi pencucian uang namun diperluas mencakup dugaan korupsi di Petrobas dimana eksekutif diduga menerima suap dalam memberikan kontrak dengan mark up kepada perusahaan konstruksi.

Lula dahulunya adalah penyemir sepatu dan pemimpin serikat buruh yang sukses pada pemilihan presiden tahun 2002 dari Partai Buruh. Pemilihan umum yang menumbangkan kediktatoran militer. Lula juga populer di masyarakat miskin Brazil karena selama tahun 2003-2010 membantu mengangkat kemiskinan ke kelas menengah dengan pertumbuhan ekonomi yang baik.

Keberanian penegak hukum dan Kejaksaan Brazil mengusut dan akan mendakwa mantan Presiden patut diacungi jempol. Tindakan ini apabila dilakukan secara objektif dapat memberikan preseden yang baik kepada masyarakat bahwa penegakan hukum harus adil tidak hanya tajam ke bawah namun tajam juga ke atas. Penegakan hukum ini logikanya semestinya dapat memberikan efek jera karena yang dikenakan dakwaan adalah ‘big fish’ yang menjadi ikon masyarakat.

Bila, andaikan tuduhan ini terbukti benar, bisa dibayangkan praktik fraud dan korupsi yang masif sebab jika pimpinan yang seharusnya menjadi panutan ternyata perbuatannya tidak terbukti sesuai dengan ucapannya maka sudah barang tentu di lapisan bawah akan terjadi apatisme, tahu sama tahu, pembiaran, dan bahkan partisipasi dalam perbuatan fraud dan korupsi. 

Menengok ke negeri sendiri, praktek penangkapan sampai pemidanaan bigfish oleh KPK ternyata tidak juga mengurangi praktek korupsi. Karena, pencokokan bigfish yang menjadi icon publik masih juga terjadi. Praktek korupsi yang retail bahkan mungkin masih sangat banyak di masyarakat. Contoh korupsi yang retail adalah praktek pemberian hadiah dan uang terima kasih dalam berbagai bentuk untuk mendapatkan layanan Negara. Belum lagi praktek korupsi yang lain yaitu sulitnya mencegah intimacy dan benturan kepentingan yang dapat menggelincirkan ke jurang fraud dan korupsi. Perilaku rentan korupsi atau fraud juga dapat terjadi di sektor komersial karena fraud dan korupsi dapat terjadi dimana saja dan tidak memandang ras. 

Yang kedua adalah modus sogok menyogok yang dilakukan BUMN Brazil, Petrobras, bertujuan untuk menjaga kekuasaan Partai Buruh, namun dengan cara ilegal. Operasi investigasi antikorupsi ini menemukan politisi-politisi Partai Buruh dan sekutunya membuat mark up kontrak dalam rangka mendapatkan suap dan untuk pembiayaan partai. Praktek korupsi ini bisa disebut sebagai korupsi yang sudah melembaga (institutionalized corruption) di Petrobras dan BUMN lain.

Pada kasus di Brazil, yang menjadi pelajaran bagi kita adalah bukan hanya parahnya korupsi atau fraud yang sudah melembaga namun ternyata perpolitikan harus dibiayai melalui korupsi. Mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan harus melalui dana yang besar dan itu harus diperoleh dari cara apapun. 

BUMN sebagai korporasi yang dimiliki Negara sangat rentan dengan berbagai kepentingan. Wajar jika timbul hipotesa, BUMN sulit maju karena governance atau macro environment nya BUMN masih dibelenggu kepentingan tertentu. Tentu saja pemilik kepentingan atas BUMN adalah elit-elit penguasa Negara baik di eksekutif, judikatif, dan legislatif atau para aliansinya. Pada ranah komersial maka suatu korporasi pun dapat menjadi bancakan kepentingan elit-elit eksekutif pengurus korporasi dan pemilik korporasi. Itu sebabnya, salah satu indikator suatu korporasi atau BUMN tidak sehat adalah fraud atau korupsi dengan berbagai sumber penyebabnya (root cause). 

Yang ketiga adalah tuduhan terhadap Lula menyeret partainya. Kasus ini menunjukkan bahwa ternyata persoalan partai politik yang diindikasikan sebagai tempat praktek kolusi dan nepotisme bukan hanya terjadi di Indonesia. Tentu menjadi sangat berisiko bila partai politik dipenuhi praktek kotor. Mungkin persepsi publik bahwa partai politik termasuk tempat paling korup atau setidaknya paling berisiko korupsi, dengan fakta kasus ini, adalah persepsi yang benar.

Pertanyaannya apakah partai politik sedang atau sudah dan wajib menjalankan program bersih diri, pencegahan serta pendeteksian fraud dan korupsi di internalnya? Karena dikhawatirkan kleptokrasi tidak akan pernah berhenti sehingga bangsa, khususnya masyarakat kelas bawah, yang menjadi korban. Kleptokrasi bukan hanya ditunjukkan oleh perilaku korup para pejabat dan wakil rakyat tetapi malahan menjadi bagian dari sistem demokrasi yang sedang berjalan saat ini. Apalagi jika para pemilik modal dan bisnis, para pemilik kepentingan melakukan negosiasi dan membawa kepentingan tertentu kepada pengambilan kebijakan dan keputusan di dalam sistem demokrasi.

Dengan kata lain untuk menjaga atau memasukkan kepentingan ke dalam suatu kebijakan dan pengambilan keputusan harus melalui “pengamanan” dengan cara korupsi. Sulit dibayangkan dampak dari praktek “membeli” kebijakan dan pengambilan keputusan. Menurut saya, dampaknya tentu lebih dahsyat dari pada pembobolan brankas bank, baik dari jumlah kerugian maupun jangka waktu dampak pasca praktek “membeli” kebijakan dan pengambilan keputusan tersebut.

Yang keempat adalah dimasukkannya istri Lula, Marisa Leticia Lula da Silva, sebagai yang ikut dituduh. Fenomena ini menjadi pelajaran bahwa pasangan suami istri dapat saling mengetahui perbuatan fraud atau korupsi yang dilakukan pasangannya atau paling tidak patut mengetahui  dan menikmati hasil fraud atau korupsi tersebut. Pasangan suami istri pasti merasakan timbulnya ketidakwajaran penghasilan dan kekayaan dibandingkan penghasilan resmi yang diberikan perusahaan atau instansi. Hanya saja, rasa ketidakwajaran itu hanya timbul pada awalnya saja, karena selanjutnya harta dan keuntungan yang didapat telah mengalahkan hati nurani dan pikiran. Tragisnya adalah jika perbuatan fraud atau korupsi dilakukan karena dorongan dan tekanan dari gaya hidup keluarga. Tuduhan kepada istri Lula mirip seperti di Indonesia dimana beberapa istri menemani ikut suaminya didakwa melakukan perbuatan korupsi. Tentu saja, pembinaan keluarga yang baik menjadi penting karena dapat mencegah terjadinya perbuatan fraud atau korupsi.

Yang kelima, ternyata berdasarkan hasil investigasi, kasus yang terjadi di Petrobras merupakan skandal korupsi terbesar dan terhebat di Brazil mengingat selama beberapa tahun tiga sektor yang saling terkait menyalurkan milyaran dollar uang yang tidak sah. Ketiga sektor itu adalah politisi, pengusaha (businessman) dan pegawai Petrobras. Pegawai petrobas menerima suap untuk meluluskan atau membiarkan praktek pengadaan yang tidak benar.  Pengusaha mengorganisasikan perusahaannya sebagai kartel pemasok di Petrobas dengan menyuap 1-5% nilai kontrak yang telah di mark-up kepada pegawai petrobas. Politisi bertanggung jawab menempatkan dan mempertahankan pegawai korup di Petrobras di posisi-posisi kunci dan mendapatkan keuntungan dari suap tersebut. Dengan demikian, terbentuk segitiga kolusi, korupsi dan nepotisme di Petrobas.

Jelas bahwa yang terjadi di BUMN Brazil Petrobras adalah korupsi yang melibatkan elit-elit BUMN tersebut, menguntungkan para pengusaha yang menjadi kroni, dan sengaja dibentuk dan dipelihara oleh para politisi. Segitiga kleptokrasi ini bisa terjadi di Indonesia. Karena dampak segitiga kleptokrasi ini sangat merugikan bangsa sehingga sudah seharusnya menjadi prioritas penegak hukum untuk mengusut secara tuntas dan adil serta membawanya ke pengadilan. Yang menarik di Brazil, operasi car wash dilakukan oleh polisi federal Brazil yang secara yuridis dipimpin hakim Sergio Moro, bukan dilakukan oleh lembaga penegak hukum ekstern seperti KPK. Oleh karena itu, boleh lah kita berharap KPK dapat meniru langkah dan hasil investigasi polisi federal Brazil tersebut.

 

Penulis: Diaz PriantaraBoard of ACFE Indonesia Chapter and Board of IIA Indonesia

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: