Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bagaimana Masa Depan EVO Indonesia di Pakistan?

Oleh: ,

Bagaimana Masa Depan EVO Indonesia di Pakistan? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Latar belakang hubungan Indonesia dengan Pakistan tidak dapat dipungkiri berasal dari kedua negara yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam. Menurut Pew Research Center (2015), Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia dengan total kurang lebih 209 juta orang (13,1%), sedangkan Pakistan menjadi negara terbesar ketiga dengan total kurang lebih 167 juta orang (10,5%).

Indonesia dan Pakistan telah bekerja sama dengan menjadi member dari organisasi The Organisation of Islamic Operation (OIC) dan The D-8 Organization for Economic Cooperation (Developing-8). Seakan ingin terus meningkatkan simbiosis mutualisme dalam bidang ekonomi, kedua negara sepakat untuk bekerja sama dalam bidang perdagangan melalui The Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (PTA).

The Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (PTA) telah ditandatangani empat tahun yang lalu, tepatnya pada 3 Februari 2012 dan mulai berjalan efektif pada 1 September 2013. Di bawah payung PTA tersebut, Indonesia menawarkan pembukaan akses pasar kepada Pakistan untuk 232 pos tarif produk pada tingkat preferensial di mana 103 pos tarif produk pada tingkat 0%.

Daftar produk tersebut termasuk ekspor yang diinginkan Pakistan antara lain buah segar, benang katun, kain katun, pakaian jadi, barang olahraga, dan produk kulit. Kemudian Indonesia juga kemudian menawarkan akses pasar untuk kinnow atau jeruk Pakistan pada tingkat 0% untuk memberikan akses bermain di pasar Indonesia.

Sementara itu, Pakistan mengajukan tawaran kepada Indonesia sebanyak 313 pos tarif produk pada tingkat preferensial di mana 82 pos tarif produk pada tingkat 0%. Produk-produk yang diinginkan antara lain edible oil product (CPO), makanan olahan gula, produk kakao, produk kimia, produk karet, produk kayu, dan elektronik.

Pakistan juga setuju menawarkan perlakuan yang sama untuk CPO dan produk turunannya seperti Malaysia di bawah The Pakistan-Malaysia Free Trade Agreement (FTA) dengan tarif 15% MoP (margin of preference). Tampaknya dampak positif dari penerapan PTA tersebut mulai terlihat di mana total perdagangan antara Indonesia dengan Pakistan setelah dua tahun berjalan telah mencapai lebih dari US$ 2 miliar dibandingkan sebelumnya yang hanya mencapai US$1,7 miliar pada 2012.

Bila dilihat dari sisi Indonesia, Pakistan menjadi negara mitra dagang yang potensial bagi Indonesia di mana Pakistan adalah negara tujuan ekspor Indonesia ke-17 dengan pangsa sekitar 1,3%. Ekspor Indonesia ke Pakistan selama lima tahun terakhir (2011-2015) mengalami kenaikan rata-rata 20,9% per tahun walaupun pada tahun 2015, ekspor Indonesia ke Pakistan secara agregat turun 2,7% YoY dibanding tahun sebelumnya.

Adapun, ekspor Indonesia ke Pakistan terbesar didominasi oleh edible vegetable oils (EVO) dengan pangsa mencapai 66,5%, diikuti oleh beberapa produk lain seperti buah dan sayur (5,2%), kertas (4,5%), dan produk kimia (4,4%).

Bila dilihat dari pasar Pakistan, impor Pakistan dari dunia selama 2011-2015 masih meningkat rata-rata 1,0% per tahun. Impor Pakistan dari dunia secara agregat pada tahun 2015 mencapai US$ 44,0 miliar atau turun 7,5% YoY dibandingkan tahun sebelumnya. Bila dilihat dari negara asal impor Pakistan, Indonesia merupakan mitra dagang yang penting bagi Pakistan di mana berada di posisi ke-4 dengan pangsa sebesar 4,6% atau di bawah China (25,0%), Uni Emirat Arab (13,0%), dan Arab Saudi (6,8%).

Sementara itu, negara ASEAN lainnya berada di bawah Indonesia seperti Malaysia (urutan ke-10; pangsa 2,1%), Singapura (urutan ke-11; pangsa 2,0%), dan Thailand (urutan ke-12; pangsa 1,9%).

Sebagian besar produk yang diimpor Pakistan masih meningkat baik pertumbuhan tahunan maupun trennya selama lima tahun terakhir. Migas menjadi produk impor terbesar Pakistan dari dunia pada tahun 2015 mencapai US$9,5 miliar (pangsa 21,6%), diikuti oleh produk kimia sebesar US$5,7 miliar (pangsa 12,9%), mesin-mesin sebesar US$4,6 miliar (pangsa 10,4%), dan elektronik sebesar US$3,5 miliar (pangsa 8,0%). Sementara itu, produk EVO masuk dalam 10 besar produk impor terbesar Pakistan dengan pangsa mencapai 4,1%.

Sekilas tentang EVO, EVO adalah trigliserida (minyak atau lemak) yang diekstrak dari tumbuhan, baik biji-bijian, ataupun kacang-kacangan (Gunstone, 2002). Paling tidak, terdapat dua kegunaan besar EVO di dunia saat ini, yaitu sebagai bahan makanan dan keperluan industri (biodiesel). EVO yang paling sering digunakan antara lain palm oil, soybean oil, sunflower oil, olive oil, canola oil, coconut oil, rapeseed oil, corn oil, dan cottonseed oil.

Lalu apa yang membuat EVO penting bagi Indonesia dan Pakistan? Bagi Indonesia sendiri, ternyata ekspor EVO menjadi penyumbang nilai ekspor nonmigas terbesar yaitu mencapai US$ 18 miliar atau 12% dari total ekspor Indonesia. Sementara itu, impor EVO masuk dalam sepuluh impor nonmigas terbesar Pakistan yang mencapai hampir US$2 miliar (4,1% total impor Pakistan) pada tahun 2015.

Lebih lanjut, Pakistan merupakan negara tujuan terbesar ketiga ekspor produk EVO Indonesia dengan pangsa sebesar 7,4% di bawah India (18,7%) dan China (15,2%). Ekspor produk EVO Indonesia ke Pakistan tahun 2015 mencapai US$1,3 miliar atau mengalami penurunan 3,4% YoY dibandingkan tahun 2014, namun bila dilihat selama lima tahun terakhir masih mengalami peningkatan rata-rata mencapai 42,5% per tahun.

Ekspor produk EVO Indonesia ke Pakistan didominasi oleh minyak goreng sawit/rbd dengan pangsa mencapai 97,6%, sedangkan sisanya merupakan minyak kelapa sawit (CPO), minyak babassu, minyak kelapa murni (VCO), dan minyak kelapa (CCO).

Namun memang sangat disayangkan total impor EVO Pakistan mengalami penurunan rata-rata sebesar 6,9% per tahun. Pada tahun 2015 impor produk EVO Pakistan mencapai US$1,8 miliar atau turun 13,9% YoY dibandingkan tahun 2014. Ternyata Indonesia menjadi pemasok utama dan terbesar produk EVO Pakistan dengan pangsa 76,6%, sedangkan Malaysia berada di bawah Indonesia dengan pangsa 15,0%.

Supply EVO Indonesia masih memiliki tren ekspor selama lima tahun terakhir yang masih meningkat, sedangkan Malaysia faktanya mengalami penurunan rata-rata sebesar 38,9% per tahun selama lima tahun terakhir (2011-2015). Bila dicermati lebih dalam, produk EVO impor Pakistan didominasi hampir 87% oleh minyak goreng sawit/rbd kemudian diikuti oleh crude soyabean oil (6,6%) dan crude palm oil (4,7%).

Selain itu, berita mengenai The Islamabad Chamber of Trader (ICST) yang mendesak Pemerintah Pakistan untuk mengembangkan dan mempromosikan sektor edible oil yang dapat membantu negara menghemat hingga US$2,5 miliar per tahun. Hal tersebut dikarenakan impor edible oil Pakistan memang akan terus meningkat mengingat konsumsi per kapita Pakistan saat ini berada di 12-13 liter dan meningkat 3% per tahunnya.

Sepertiga konsumsi EVO Pakistan saat ini masih dapat dipenuhi oleh produksi EVO dalam negeri di mana menurut ICST sebesar 40-48% berasal dari sunflower, 32% dari rapeseed, sedangkan 10-12% diperoleh dari cottonseed. ICST menyerukan kemandirian EVO Pakistan dengan cara meningkatkan dan mengembangkan penelitian, subsidi input, pinjaman bebas bunga, tarif impor tahunan, teknologi pra dan pascaproduksi, kapasitas pabrik penggilingan, serta pemberdayaan Pakistan Oilseed Development Board (PODB).

Beberapa tahun ke belakang, Pemerintah Pakistan memang telah mencoba untuk meningkatkan produksi domestik kelapa sawit di daerah pesisir Provinsi Sindh dan Balochistan, memulai program Palm Oil Development Project (PODP) yang bekerja sama dengan Malaysia dan pembangunan palm oil mill di Kota Thatta di mana proses produksi (ekstraksi) minyak kelapa sawit dilakukan pada 2011, namun upaya tersebut tampaknya belum akan terwujud dalam jangka waktu dekat karena Pemerintah Pakistan telah mengumumkan insentif untuk sektor pertanian dalam anggaran negara akan tetapi sektor edible oil belum termasuk di dalamnya.

Bagi Indonesia, hal tersebut tentunya menjadi sinyal kuning bagi ekspor EVO ke Pakistan, dalam jangka pendek mungkin memang belum berpengaruh namun dalam jangka panjang tentunya sangat besar kemungkinan Pakistan mengurangi ketergantungan impor EVO secara besar-besaran yang disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya kebijakan Pemerintah Pakistan untuk menggalakkan penanaman oil crops untuk peningkatan kapasitas domestik, menurunnya cadangan devisa Pakistan sehingga harus membatasi impor, pengaruh pihak asing yang menekan Pakistan untuk menggunakan produk substitusi palm oil, dan upaya Malaysia atau negara lain memperoleh konsesi penurunan tarif untuk produk CPO dan turunannya kepada Pakistan.

Dengan melihat kemungkinan tersebut, tentunya akan lebih baik jika Indonesia mulai mencari solusi untuk tetap meningkatkan ekspornya ke Pakistan di mana salah satu cara terbaik adalah melakukan diversifikasi produk ekspor dan tidak bergantung pada satu produk saja, yaitu EVO.

Berdasarkan analisis demand-supply di mana analisis demand yang berasal dari pertumbuhan rata-rata impor suatu produk Pakistan dari dunia dan analisis supply yang berasal dari pertumbuhan rata-rata ekspor suatu produk Indonesia ke Pakistan selama lima tahun terakhir (2011-2015) maka dilakukan produk mapping untuk produk ekspor Indonesia ke Pakistan yang dikenal dengan empat kuadran BCG matrix yaitu Star, Question Mark (QM), Cash Cow (CC), dan Dog.

Adapun, hasil product mapping ekspor produk Indonesia ke Pakistan menunjukkan bahwa dari 39 produk hasil pengelompokan, sebanyak 18 produk berada di Star, delapan produk QM, tiga produk CC, dan sisanya Dog.

Lalu, bagaimanakah posisi EVO Indonesia di Pakistan? Faktanya terjadi hal menarik di mana EVO Indonesia ke Pakistan hanya masuk dalam kategori Cash Cow artinya walaupun pangsa EVO Indonesia yang terbesar, yaitu mencapai hampir 77% dan supply terus meningkat, namun demand EVO Pakistan cenderung menurun atau mengalami kejenuhan (tidak dinamis).

Dalam jangka panjang, bila demand EVO Pakistan tersebut tidak terjadi perubahan atau terus menurun tentunya juga akan berdampak pada penurunan supply EVO secara agregat tak terkecuali Indonesia. Hal tersebut tentunya menjadi semacam early warning system untuk Indonesia agar melakukan diversifikasi produk ekspor ke Pakistan bila ingin tetap menjadikan Pakistan sebagai pasar potensial.

Melihat hasil product mapping BCG matrix tersebut, bila difokuskan pada peningkatan ekspor Star dan QM saja ternyata telah mengcover hampir 27% ekspor Indonesia ke Pakistan, potensi yang cukup besar mengingat pengsa produk ekspor Indonesia di pasar Pakistan juga masih kecil.

Kenapa hanya produk di Star dan QM? Hal tersebut karena produk pada kuadran tersebut berada di pasar Pakistan yang masih dinamis atau terus meningkat demand-nya. Sebagian besar produk-produk ekspor Indonesia yang masuk di STAR memiliki rentang pangsa sebesar 0%-37,9%. Pangsa produk yang masih kecil tersebut tentunya menjadi peluang dan tantangan bagi Indonesia untuk fokus meningkatkan kualitas dan kuantitas ekspornya.

Produk-produk yang masuk dalam Star adalah Kakao dan olahannya, kertas, buah dan sayur, rempah-
rempah, pulp, produk tekstil, kerajinan, otomotif, produk kayu, produk kimia, alas kaki, produk plastik, mesin mesin, peralatan medis, ikan dan produk ikan, kayu olahan, kopi, dan produk manufaktur lainnya.

Sementara itu, kategori QM yang memiliki produk ekspor dengan rentang pangsa produk ekspor Indonesia di Pakistan sebesar 0,1%-3,6%. Produk-produk ekspor yang masuk dalam kategori ini adalah makanan olahan, minyak atsiri, produk karet, produk logam, logam dasar, produk hewan, elektronik, dan produk primer lainnya.

Produk-produk ekspor dalam kategori ini juga perlu didukung agar pertumbuhan ekspornya dapat meningkat kembali dan naik menjadi Star.

Dalam jangka panjang, usaha untuk mempertahankan EVO (khususnya CPO dan produk turunan) sebagai satu-satunya tumpuan ekspor Indonesia ke Pakistan akan sangat rentan terhadap perubahan kebijakan perdagangan Pakistan.

Rekomendasi kebijakan perdagangan yang dapat diambil adalah meningkatkan kerja sama perdagangan Indonesia-Pakistan yang saat ini berada pada posisi Preferential Trade Agreement (PTA) menjadi Free Trade Agreement (FTA) dengan beberapa tujuan antara lain mengupayakan diversifikasi produk ekspor Star dan QM Indonesia ke Pakistan dan menurunkan atau bahkan menghilangkan hambatan perdagangan seperti nontariff measures (NTM) maupun tarif terhadap produk tertentu di antara kedua negara.

Beberapa faktor yang dapat juga dilihat sebagai peningkatan kerjasama Indonesia dengan Pakistan adalah proyeksi IMF mengenai pertumbuhan ekonomi Pakistan yang masih akan terus meningkat hingga tahun 2021 mencapai 5,5% ditambah dengan proyeksi United Nations (UN) penduduk Pakistan akan mencapai 244 juta pada tahun 2030.

Penulis: Tjahya Widayanti, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan RI

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: