Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Trump Jadi Presiden, Apa Implikasi ke Pengelolaan Risk Assurance?

Oleh: ,

Trump Jadi Presiden, Apa Implikasi ke Pengelolaan Risk Assurance? Kredit Foto: Arif Hatta
Warta Ekonomi, Jakarta -

Amerika Serikat (AS) baru saja menyelesaikan pemilihan umum yang menghasilkan kemenangan bagi Donald Trump, kandidat Partai Republik. Donald akan menggantikan Barack Obama yang telah dua kali menjabat sebagai Presiden AS. Donald Trump adalah presiden ke-45 di sejarah Amerika Serikat.

Terpilihnya Trump sebagai model demokrasi ala Amerika Serikat disertai reaksi kekhawatiran banyak pihak, termasuk di dalam negeri Amerika Serikat sendiri. Sebab, sejak kampanye Donald Trump sering melakukan agitasi atau pernyataan yang kontroversial dan merendahkan pihak lain.

Yang paling kentara adalah pernyataannya tentang rasis hispanik dan anti-muslim serta kecenderungan Trump untuk memperkuat supremasi ras putih di Amerika Serikat. Cara ini dilakukan Trump dengan mengusung semboyan make America great again atau membuat Amerika Serikat kembali berjaya.

Di aspek perekonomian, timbul kekhawatiran pada kebijakan perdagangan, kebijakan fiskal, serta kebijakan moneter dan suku bunga. Survei oleh The Wall Street Journal pada bulan September lalu kepada 576 eksekutif keuangan menemukan bahwa lebih dari 73 persen mengharapkan presiden berikutnya memiliki dampak yang moderat dan tinggi kepada perekonomian Amerika Serikat. Survei Deloitte kepada chief financial officer menunjukkan hal yang sama bahwa hampir 85 persen percaya kinerja perseroan di masa depan tergantung pada hasil dari pemilihan presiden.

Sampai dengan masa jabatan Barack Obama berakhir tanggal 20 Januari 2017, tentu saja dunia sedang membaca dan menganalisis arah perkembangan politik dan ekonomi Amerika Serikat untuk mengantisipasi berbagai implikasi yang akan terjadi. Jikalau industri di Amerika Serikat memiliki ekspektasi sekaligus kehawatiran maka tentu saja global menghadapi hal yang sama karena Amerika Serikat masih dijadikan indikator prekonomian dunia. Misalkan, Amerika Serikat meningkatkan suku bunga The Fed tentu saja akan berakibat ke negara lain, yang ikut mendorong kenaikan bunga untuk mengurangi risiko capital outflow.

Demikian pula, misalkan jika terdapat kebijakan fiskal dan perdagangan yang bersifat protektif oleh Amerika Serikat, tentu berdampak kepada negara-negara lain. Inilah yang disebut risiko yang esensinya adalah ketidakpastian. Inilah yang disebut geopolitical risk. Indonesia sebagai negara yang memiliki kebijakan devisa bebas tentu akan mengalami dampak pada kebijakan kenaikan suku bunga The Fed, demikian pula Indonesia memiliki hubungan dagang dengan Amerika Serikat.

Sebagai contoh, kutipan dari situs Kementerian Keuangan menggambarkan peta perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat (http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Kajian_Kerja_Sama_Bilateral_RI-AS.pdf). Dalam, hubungan dagang, AS merupakan mitra dagang terbesar ketiga bagi Indonesia setelah China dan Jepang. Neraca perdagangan Indonesia terhadap Amerika Serikat menunjukkan nilai yang positif.

Ekspor nonmigas yaitu karet, tekstil dan pakaian jadi, alas kaki dan mesin listrik mendominasi komoditas Indonesia yang dikirim ke AS. Nilai ekspor nonmigas Indonesia secara keseluruhan mengalami tren yang meningkat, kecuali di tahun 2009 sebagai dampak dari krisis ekonomi di AS; kenaikan ekspor tahun 2010 dan 2011 mencapai 31,49% dan 15,37% (Kementerian Perdagangan, 2012).

AS juga merupakan salah satu negara asal impor terbesar, bersama dengan negara-negara ASEAN, Jepang, dan China. Nilai impor Indonesia dari Amerika Serikat pada tahun 2011 mencakup 6,09% dari total impor Indonesia, lebih kecil dari nilai impor tahun 2009 dan 2010.

Auditor intern harus aktif mencermati dinamika ini, khususnya auditor intern yang entitas tempat kerjanya memiliki risk exposure terhadap pasca-pemilihan presiden Amerika Serikat. Auditor intern melakukan risk assurance dengan mengajak internal stakeholder di tempat kerjanya mengidentifikasi dan menganalisis risiko-risiko geopolitik beserta dampaknya. Risiko yang diindentifikasi tidak hanya yang bersifat negatif, namun yang bersifat positif yaitu yang memberikan peluang bisnis kepada entitas.

Sampai dengan 20 Januari 2017, dunia masih mencermati dan menunggu sesuatu kebijakan dan arah Amerika Serikat yang definitif. Hal ini berimplikasi memberikan banyak risiko yang berisifat kontinjensi, apakah favorable atau unfavorable.

Auditor intern harus memastikan apakah internal stakeholders sudah memetakan risiko geopolitik tersebut beserta kontinjensinya. Jika sudah, bagaimana langkah pengelolaan risiko tersebut oleh risk owner dan kecukupan langkah tersebut dibandingkan risikonya. Bagaimana juga risiko geopolitik ini dikomunikasikan di internal organisasi dan bagaimana bentuk pemantauan (monitoring) dan tindaklanjutnya harus menjadi perhatian auditor intern.

Ini menunjukkan peran dan kontribusi auditor intern saat ini yang tidak hanya melihat risiko yang negatif dan mengomentari kecukupan pengendalian intern-nya (value preservation), tidak hanya melihat transaksi yang historical (backward looking), melainkan auditor intern harus membantu melihat risiko yang akan muncul (forward looking) dan melihat peluang dari risiko geopolitik ini (value creation).

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: