Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

KPPU Terapkan Denda 30 Persen dari Omzet, Pengusaha Resah

KPPU Terapkan Denda 30 Persen dari Omzet, Pengusaha Resah Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rencana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menerapkan hukuman denda sebesar 30 persen dari omset perusahaan menimbulkan keresahan kalangan dunia usaha Dalam diskusi "Examinasi Putusan-putusan KPPU di Pascasarjana UPH, Jakarta, Rabu terungkap KPPU tengah berupaya melakukan penguatan kewenangan dengan cara mengajukan revisi UU Nomor 5 Tahun 1999.

Salah satunya yakni mengenai denda yang rencananya akan ditingkatkan dari maksimal Rp25 miliar menjadi 30 persen dari omzet.

"Pengenaan denda berdasarkan omzet ini bisa membuat pelaku usaha gulung tikar," ujar Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana.

Menurut dia, seharusnya denda cukup dikenakan berdasarkan illegal profit, yaitu keuntungan yang diperoleh dari perilaku persaingan tidak sehat.

Mantan Hakim Agung RI Susanti Adinugroho, juga menyoroti soal denda yang dinaikkan menjadi 30 persen dari omzet dalam revisi UU 5/1999. "Ini terlalu besar, nanti pengusaha bisa lari ke luar negeri," ujarnya.

Selain persoalan tingginya denda, dalam draft revisi UU no 5/1999 yang dinilai sangat meresahkan dunia usaha yakni usulan penambahan kewenangan KPPU berupa extra territory law enforcement.

Menurut Danang Girindrawardana hal itu perlu dipertimbangkan dengan hati-hati karena potensi pelaku usaha di Indonesia yang diadili oleh KPPU-nya negara lain akan lebih banyak dibanding KPPU mengadili pelaku usaha dari negara lain.

Dia menilai Draf revisi UU 5/1999 lebih banyak membahas mengenai kelembagaan KPPU sendiri, khususnya soal penambahan kewenangan, yaitu kewenangan menyadap, menggeledah, menyita dan menjatuhkan hukuman pidana.

Padahal, dalam UU saat ini yang integrated model, KPPU sudah bagaikan super body karena lembaga tersebut punya kewenangan sebagai pelapor, pemeriksa (investigator), penuntut dan sekaligus hakim.

Soal kewenanagan untuk menggeledah, Susanti Adinugroho menilai hingga saat ini belum pernah ada hakim (pemutus perkara) melakukan penggeledahan.

"KPPU itu sifatnya quasi yudisial, tidak bisa melakukan penggeledahan. Kalau nanti boleh melakukan penggeledahan, bisa 'abuse of power'," ujarnya.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara Ningrum Natasya Sirait menyatakan, KPPU harus memiliki "lead economics" yang dapat memberikan perspektif dari sisi ekonomi dan dinamika pasar dalam melakukan fungsinya.

Dari 350 pegawai yang dimiliki KPPU, lanjutnya, jumlah investigator yang dimiliki hanya sekitar 30, dan tidak ada yang lead economics.

"KPPU seharusnya memiliki Biro Ekonomi, seperti lembaga pengawas persaingan usaha di negara-negara lain," ujarnya.

Dia menilai, selama ini KPPU tidak mampu mempertanggungjawabkan kewenangannya yang terlalu besar.
Dalam "due process of law", menurut Ningrum, tidak terlihat pelaksanaan yang benar dari tiga fungsi yang dimiliki oleh KPPU, yaitu menyelidik, menuntut, dan memutus.

Mantan Hakim Agung Susanti Adinugroho menegaskan UU No. 5 1999 memang sudah waktunya untuk direvisi, namun, revisi ini harus lebih baik dari yang sebelumnya. Sementara, di RUU yang ada saat ini yang terlihat bukan perbaikan tapi penurunan.

"Waktu itu, kita buru-buru bikin UU 5/1999 karena untuk memenuhi permintaan IMF. Karena dibuatnya tergesa-gesa, jadinya seperti ini," katanya. (Ant)

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Advertisement

Bagikan Artikel: