Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Harga Cabai Naik, Pemerintah Diminta Jangan Salahkan Persoalan Cuaca

Harga Cabai Naik, Pemerintah Diminta Jangan Salahkan Persoalan Cuaca Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah tidak bisa serta-merta menyebut cuaca sebagai faktor utama dari kenaikan harga cabai yang terjadi belakangan ini. Intensitas curah hujan yang tinggi disebut menahan petani untuk melakukan panen. Sebagai perishable food, cabai dikhawatirkan akan semakin cepat busuk dalam kondisi udara lembab.

Pakar Kebijakan Pangan dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijan Universitas Gadjah Mada Evita Hanie Pangaribowo menyampaikan kasus naiknya harga cabai perlu dilihat dari berbagai aspek. Jika pemerintah mengklaim bahwa ini terkait cuaca maka hanya aspek produksi yang dilihat. Padahal, persoalan harga terkait dengan banyak aspek terutama rantai distribusinya.

"Pemerintah sebetulnya bisa memetakan hulu hingga hilir distribusi bahan pangan agar lebih mudah mengidentifikasi titik apa yang paling mempengaruhi kenaikan harga. Selanjutnya, menentukan bentuk intervensi yang tepat guna menstabilkan harga cabai," katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (14/1/2017).

Evita mengatakan persoalan kenaikan harga cabai tidak bisa hanya ditinjau dari aspek produksi mengingat pasokan cabai rawit secara nasional sebetulnya masih surplus. Ia mengatakan kebutuhan konsumsi masyarakat mencapai 68 ribu ton, sementara total produksinya masih aman di angka 73 ribu ton.

"Kita tidak tahu siapa sebetulnya yang paling mendapatkan keuntungan dari ini. Jika harga cabai tinggi seharusnya petani bisa meraup untung yang lebih dari biasanya. Tapi, ini tidak demikian," ujarnya.

Ia mendesak pembuatan?mekanisme yang tepat untuk membantu petani menghadapi perubahan cuaca jika pemerintah bersikukuh bahwa ini merupakan persoalan cuaca.

"Hasil pertanian memang sangat rentan terhadap perubahan cuaca. Saat cuaca ekstrem, gagal panen bisa saja terjadi dan ini merupakan pukulan telak bagi para petani. Beberapa bahkan ada yang sampai harus menjual aset untuk menutup kerugian," ungkapnya.

Belakangan, imbuhnya, banyak studi yang membahas tentang agricultural insurance atau weather insurance sebagai salah satu bentuk jaring pengaman sosial bagi para petani. Mekanisme asuransi diterapkan guna menghindarkan petani dari kerugian yang lebih karena kondisi yang rentan dan tidak pasti.

"Selain itu, asuransi juga bisa menjadi katalisator seperti pemberi pinjaman modal bagi petani untuk meningkatkan produktivitasnya," ucapnya.

Evita menceritakan beberapa negara seperti India, Ghana, dan Ethiopia sudah menerapkan program ini meski masih dalam tahap proyek percontohan (pilot project). Hasil studi pemantauan dan evaluasi menunjukkan ada perubahan perilaku petani setelah petani mengikuti program asuransi.

Di India misalnya, para petani mulai berani untuk beralih menanam tanaman yang berisiko terhadap curah hujan. Kekhawatiran mereka berkurang dan harapan untuk mendapatkan nilai jual lebih tinggi bertambah.

"Jika pola ini mau diadopsi, pemerintah bisa bekerja sama dengan sektor swasta yang bergerak di jasa asuransi. Memang tidak mudah mendorong investasi di bidang ini karena less profitable atau keuntungannya kecil," pungkasnya.

Baca Juga: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: