Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Asep Supriadin: Petani Juga Bisa Punya Pabrik

Asep Supriadin: Petani Juga Bisa Punya Pabrik Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejak Indonesia merdeka, koperasi sudah dirancang untuk menjadi sokoguru perekonomian rakyat oleh Bapak Bangsa. Berbagai upaya untuk mendorong tumbuh kembang koperasi pun dilakukan. Namun, dalam perkembangannya upaya-upaya itu justru merusak fitrah koperasi sebagai lembaga ekonomi berwatak sosial yang pendiriannya didorong oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan bersama (collective egoism).

Akhirnya, di Indonesia banyak koperasi yang tumbuh dari dorongan dan inisiatif pemerintah, bukan dari keinginan masyarakat sendiri. Selain itu, berhubung kuantitas koperasi tampaknya lebih penting daripada kualitas, pemerintah sering mendorong pendirian koperasi tanpa proses edukasi dan pendampingan yang memadai. Alhasil, dari sekitar 190.000 koperasi di Indonesia, hanya sekitar 30% yang aktif dan rutin melaksanakan rapat anggota tahunan (RAT).

Cerita di atas tidak berlaku jika berkunjung ke Desa Cisaat, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut. Kenapa? Hal ini karena di sana dapat ditemukan sebuah koperasi yang berdiri atas keinginan petani sendiri, bukan inisiatif pemerintah, bukan pula karena seorang tokoh lokal yang dihormati. Koperasi itu bernama Koperasi Serba Usaha (KSU) Putera Mekar.

Seperti pola umum pendirian koperasi, KSU Putera Mekar didirikan dengan tujuan sederhana, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan petani teh selaku anggotanya. Adalah Bapak Asep Supriadin, seorang petani teh, yang aktif menggerakkan para petani lainnya untuk bergotong-royong meningkatkan kesejahteraan bersama.

Berdiri sejak 9 Maret 2009, saat ini KSU Putera Mekar beranggotakan 454 petani yang memiliki perkebunan teh rakyat seluas 406,51 hektare. KSU Putera Mekar pun masih menjadi satu-satunya pabrik teh Indonesia yang dimiliki oleh petani, dengan Bapak Asep Supriadin sebagai ketua pengurusnya sejak pendirian hingga kini.

Masalah Bersama yang Membangun Kekompakan
Sebelum koperasi ini berdiri, sejak awal tahun 2000-an para petani teh yang memiliki kebun sendiri menjual pucuk teh mereka ke Dayeuhmanggung (PTPN VIII). Pada saat itu mereka masih menjalankan usaha mereka secara sendiri-sendiri. Akan tetapi, semenjak tahun 2008 PTPN VIII meningkatkan standar bahan baku mereka dan hanya mau menerima pucuk teh yang sudah memiliki sertifikasi UTZ dari Belanda, sebuah sertifikasi untuk good agriculture practice (GAP) yang meliputi cara penanaman, pemeliharaan, pemanenan berkelanjutan, serta aspek sosial yang berkaitan dengan kualitas kehidupan petani.

Untuk mengurus sertifikasi UTZ tersebut, petani harus berkelompok secara formal yang salah satu wadahnya adalah koperasi. Jika tidak memiliki sertifikat tersebut, para petani terancam kehilangan pelanggan mereka. Masalah bersama ini memaksa para petani yang tadinya bekerja sendiri-sendiri untuk berkelompok dan bekerja sama. Adalah sosok Asep Supriadin yang sangat aktif menggerakkan petani yang saat itu sudah terbiasa bekerja sendiri-sendiri dan mulai ingin memanfaatkan tanah untuk komoditas selain teh (seperti sayur-sayuran) untuk bersatu dan meningkatkan kesejahteraan bersama melalui koperasi.

Akhirnya, para petani mau merapatkan barisan dan mulai secara rutin membayar iuran berupa simpanan wajib bulanan untuk mendukung kegiatan operasional koperasi. Forum musyawarah tahunan pun rutin dilaksanakan. Dalam forum itu, perkembangan harga jual teh, laporan neraca dan laba rugi koperasi, serta penyusunan struktur pengurus pada tahun berikutnya menjadi agenda utama. Setiap anggota memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan.

Sejak berdirinya koperasi, proses sertifikasi UTZ dapat difasilitasi. Penjualan pucuk teh ke Dayeuhmanggung pun dilakukan melalui koperasi. Dengan kerja keras dan kekompakan yang akhirnya bisa terbangun, dalam satu tahun semua petani anggota KSU Putera Mekar berhasil mengantongi sertifikat UTZ.

Namun, Asep Supriadin selaku pemimpin koperasi tidak berhenti di situ. Ia mengarahkan anggotanya untuk memiliki sertifikasi Teh Lestari yang dikeluarkan oleh Dewan Teh Indonesia.

Walaupun membutuhkan pengorbanan, sertifikasi UTZ dan Teh Lestari ini akhirnya dapat membantu petani meningkatkan nilai jual pucuk basah mereka dari Rp700 per kilogram menjadi Rp1.200 per kilogram. Dampak lain yang dihasilkan dari kenaikan nilai jual ini adalah banyak petani yang sebelumnya mengalihfungsikan kebun teh mereka menjadi kebun sayur, kembali menanam teh.

Semua teh yang dihasilkan oleh petani anggota KSU Putera Mekar diberi nama Teh Iroet yang berarti kepincut atau langsung suka. Harapannya adalah konsumen kelak bisa langsung menyukai teh yang mereka hasilkan.

Perjalanan Untuk Memiliki Pabrik Sendiri: Silaturahmi yang Memanjangkan Rezeki
Sebagai pemimpin para petani, Pak Asep menyadari bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, koperasi harus bisa memfasilitasi pengolahan pucuk teh yang dihasilkan anggotanya, misalnya menjadi teh kemasan, agar nilai tambah dari produk teh tersebut dapat dinikmati oleh petani sendiri. Untuk itu, koperasi perlu memiliki pabrik sendiri. Namun, untuk membangun pabrik membutuhkan dana besar dan iuran para petani tidak mencukupi. Oleh karena itu, Pak Asep memulai langkah untuk membuat Teh Iroet dalam kemasan dengan cara meminta bahan jadi pada Dayeuhmanggung.

Bahan jadi tersebut dibuat kemasannya dengan penjamin pasar (avalis) dari Kertabumi, yaitu Koperasi Bina Warga.

Produk Teh Iroet dalam kemasan tersebut ditampilkan dalam Festival Teh tahun 2011 di Bali. Ternyata respons terhadap Teh Iroet cukup baik sehingga koperasi berniat mengembangkan usaha teh kemasan ini dengan lebih serius. KSU Putera Mekar pun mengajukan proposal bantuan pendanaan ke Dinas Koperasi Jawa Barat. Namun, untuk mengakses dana tersebut dibutuhkan lembaga penjamin (avalis), dan ternyata lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat bermasalah. Akhirnya, proses pengajuan dana tersebut putus di tengah jalan.

KSU Putera Mekar kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa karena belum bisa memiliki pabrik sendiri. Cobaan berat kembali datang pada tahun 2013 ketika PTPN VIII secara sepihak memutuskan untuk menghentikan pembelian pucuk dari KSU Putera Mekar. Alasan pastinya tidak diketahui persis. Namun, Pak Asep menduga keputusan tersebut diambil karena pucuk teh yang dihasilkan oleh kebun teh milik PTPN VIII sudah mencukupi kebutuhan perusahaan.

Keputusan ini jelas memberatkan petani karena saat itu mereka belum memiliki pabrik sendiri dan belum memiliki pembeli pucuk yang lain. Selama ini hasil pucuk teh mereka dijual kepada satu pembeli, yaitu Dayeuhmanggung PTPN VIII. Tujuan koperasi untuk menyejahterakan petani pun menjadi terasa sangat sulit dicapai.

Beruntung KSU Putera Mekar memiliki pemimpin yang rajin bergaul dan bersilaturahmi dengan berbagai pihak karena memang silaturahmi adalah pemanjang rezeki. Melalui koleganya di lembaga nirlaba Business Watch Indonesia (BWI), Pak Asep Supriadin dipertemukan dengan Pak Alexander Supit (CEO sekaligus pemilik PT Sariwangi AEA). Dari pertemuan tersebut, Pak Supit memutuskan untuk meminjamkan sejumlah dana bagi koperasi melalui perusahaan yang dimilikinya. Dana itu untuk membeli pabrik bekas dan merenovasinya sehingga dapat digunakan untuk pengolahan pucuk basah menjadi teh kering.

Pinjaman dengan ketentuan lunak itu menumbuhkan kembali harapan petani teh anggota KSU Putera Mekar. Mereka jadi bisa mengolah pucuk teh menjadi barang setengah jadi sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Selain itu, PT Sariwangi AEA juga bersedia membeli seluruh hasil produksi pabrik teh yang akan didirikan tersebut. Dengan demikian, PT Sariwangi AEA juga berperan sebagai penjamin pasar.

Kontrak pembelian dengan PT Sariwangi juga tidak memberatkan petani karena koperasi dapat membayar cicilan pinjaman dengan memotong sejumlah persentase tertentu dari penjualan bulanan mereka ke PT Sariwangi AEA. Di dalam pun kontrak tidak ada klausul yang mengharuskan koperasi menjual hasil teh kepada perusahaan jika ada pembeli lain yang memberikan harga lebih baik.

Namun, koperasi memutuskan untuk tidak menjual teh kepada pembeli lain karena harga dan layanan yang diberikan sudah sangat bagus. Selain itu, mereka juga merasa berutang budi.

Proses renovasi pabrik akhirnya dapat diselesaikan dalam waktu hampir satu tahun. Pada tanggal 17 April 2014 dilakukan peresmian pabrik yang diberi nama Pabrik Teh Iroet tersebut. Peristiwa ini merupakan hal bersejarah bagi Indonesia karena Pabrik Teh Iroet adalah pabrik pertama yang dimiliki sendiri oleh petani. Saking bersejarahnya, pada hari itu Bapak Bayu Krisnamurthi selaku Wakil Menteri Perdagangan RI sampai hadir di sana bersama Bapak Alexander Supit, Business Watch Indonesia, dan Asosiasi Produsen Agrokomoditi Lestari (Aspatari).

Pada hari itu pula cahaya harapan bagi para petani muncul kembali. Harapan bahwa koperasi yang mereka rintis lima tahun silam semakin mendekatkan mereka dengan cita-cita koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan para petani anggota.

Sumber: Buku?Berani Jadi Wirausaha Sosial?

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ning Rahayu
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel:

Berita Terkait