Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Sebut Ahok Tidak Perlu Dinonaktifkan, Tapi...

Pakar Sebut Ahok Tidak Perlu Dinonaktifkan, Tapi... Kredit Foto: Pool/Eko Siswono/Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Kupang -

Pengamat hukum administrasi negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Stefanus Johanes Kotan MHum berpendapat, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak harus dinonaktifkan dari jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Ahok tidak harus dinonaktifkan dari jabatannya sepanjang dirinya tidak menggunakan jabatan atau kekuasaan untuk mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan di pengadilan," kata Johanes Kotan di Kupang, Kamis (23/2/2017), terkait status Ahok.

Selain itu, proses hukum yang sedang dijalaninya tidak mengganggu tugas-tugasnya sebagai kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di DKI Jakarta.

"Saya ingin menggarisbawahi bahwa harus bisa dipahami ketika seseorang menjadi terdakwa dan dinonaktifkan dari jabatan sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, sesunggunya hanya atas dasar dua alasan," katanya.

Alasan pertama bahwa terdakwa dinonaktifkan karena bisa menggunakan kekuasaan untuk mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung di pengadilan, dan itu dapat mengakibatkan proses hukum tidak berjalan secara adil.

Alasan kedua adalah terdakwa dinonaktifkan oleh karena proses hukum yang sedang dijalaninya bisa mengganggu jalannya roda pemerintahan.

Artinya, ketika seorang penjabat yang sudah berstatus terdakwa di pengadilan, tetapi dinilai tidak mungkin menggunakan kekuasaan untuk mengintervensi proses hukum, dan juga tidak mengganggu tugas-tugas pelayanan kemasyaratan, maka pejabat berwenang bisa mengambil sikap untuk tidak menonaktifkannya dari jabatannya, kata dosen hukum Undana ini.

Pandangan berbeda disampaikan pengamat hukum Adminsitrasi Negara dari Undana Kupang Dr Johanes Tubahelan, MHum yang mengatakan Ahok harus dinonaktifkan dari jabatan sebagai gubernur karena sudah berstatus terdakwa.

"Kecuali, ada peraturan lain di DKI Jakarta yang mengatur tentang kepala daerah dan wakil kepala daerah," kata mantan Ketua Ombudsman RI Perwakilan NTT-NTB itu.

Namun, sepanjang menggunakan acuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, maka tidak ada alasan bagi Menteri Dalam Negeri untuk menonaktifkan Ahok dari jabatannya.

Berdasarkan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun.

Melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ahok sendiri saat ini sudah berstatus sebagai terdakwa penodaan agama. Namun, Kepala Biro Hukum Kemendagri Sigit Pudjianto mengatakan, pihaknya tetap menunggu tuntutan jaksa karena dakwaan Ahok terdiri dari dua pasal, yakni 156 KUHP atau 156 a KUHP.

Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara pasal 156a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.

Oleh karena itu, Kemendagri masih menunggu pasal mana yang akan digunakan jaksa dalam tuntutan.

"Kalau pasal 156a yang hukumannya lima tahun langsung kami berhentikan sementara. Kami hanya tidak mau gegabah karena nanti bisa dituntut balik," ucap Sigit.

Mengenai permohonan fatwa, Johanes Tuba Helan yang juga dosen pada Fakultas Hukum Undana Kupang itu menegaskan, tidak perlu fatwa karena sudah ada UU 23/2014 yang mengatur tentang kepala daerah dan wakil kepala daerah. (Ant)

Baca Juga: Pemerintah Komitmen Lindungi dan Lestarikan Bahasa Bali

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Advertisement

Bagikan Artikel: