Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Presiden Diminta Putus Kontrak Freeport

Presiden Diminta Putus Kontrak Freeport Kredit Foto: Freeport Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Fahmy Radhi meminta Presiden Joko Widodo secara tegas mengumumkan untuk tidak memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia setelah 2021.

"Freeport telah bersikap untuk tetap mempertahankan rezim kontrak karya yang dipegangnya. Ya sudah, Presiden juga mesti bersikap untuk menunggu saja sampai habis kontrak itu pada 2021 dan selanjutnya diambil alih sepenuhnya oleh Indonesia," katanya di Jakarta, Sabtu (25/2/2017).

Menurut dia, sisa kontrak karya Freeport, yang tinggal empat tahun (2017-2021) saja, bukanlah waktu yang panjang.

"Tunggu saja sampai habis kontrak dan kita bisa menguasai 100 persen tambang Freeport pasca-2021. Selama empat tahun sampai 2021 bisa menjadi masa transisi," ujarnya.

Pengambilalihan pasca-2021, lanjutnya, tidak ada konsekuensi hukum maupun biaya, lantaran KK Freeport sudah berakhir, sehingga harus diserahkan kembali kepada Pemerintah Indonesia.

Pascadiambil alih pemerintah, pengelolaan tambang Freeport selanjutnya diserahkan kepada konsorsium BUMN, sehingga lebih memberikan kemakmuran rakyat, utamanya Papua dan bukan kemakmuran pemegang saham McMoRan Copper & Gold Inc.

Selain itu, Fahmy juga mengatakan, perubahan rezim KK Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), bakal semakin menguntungkan perusahaan asal AS tersebut.

Ia menyebut, dengan berubah menjadi IUPK, maka Freeport akan mendapat izin ekspor konsentrat selama lima tahun dan dapat kepastian perpanjangan 10 tahun dan yang bisa diperpanjang 2x10 tahun.

Dengan menjadi IUPK, ia memperkirakan akan terjadi ekspoitasi besar-besaran di Papua selama 30 tahun yang lebih menguntungkan Freeport, sementara rakyat Papua tetap saja miskin.

Oleh karena itu, katanya, pemerintah tidak perlu mengubah KK Freeport menjadi IUPK.

Fahmy juga memperkirakan Freeport tidak akan merealisasikan ancamannya untuk memperkarakan Indonesia ke arbitase internasional.

Alasannya, selain peluang menang kecil, juga resiko besar yakni mersosotnya harga saham McMoRan Copper & Gold Inc di Bursa New York (FCX).

Sepanjang 2014, rata-rata harga saham FCX masih 62 dolar AS per saham.?Namun, pada akhir Desember 2015, harga saham FCX terpuruk menjadi 8,3 dolar AS per saham.

Salah satu penyebab sentimen penurunan harga saham FCX saat itu adalah tidak adanya kepastian perpanjangan KK Freeport dari pemerintah Indonesia.

Lalu, Januari-Oktober 2016, harga saham FCX sempat "rebound" hingga rata-rata 12,6 dolar per saham dan mencapai 15,27 dolar per saham pada 12 Januari 2017.

"Kenaikan cukup tinggi pada periode tersebut dipicu surat jaminan perpanjangan operasional Freeport dan izin eskpor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di 'smelter' dalam negeri," katanya.

Namun, lanjut Fahmy, harga saham FCX melemah 5,23 persen hingga 14,13 dolar per saham pada perdagangan 22 Februari 2017 akibat kebijakan pelarangan ekspor konsentrat.

"Berdasarkan fluktuasi penurunan harga saham FCX itu, kecil kemungkinan Freeport benar-benar menggugat ke arbitrase dan menghentikan produksi secara total. Alasannya, kedua tindakan itu akan semakin memperburuk harga saham FCX, yang berpotensi membangkrutkan McMoRan Copper & Gold Inc," ujarnya. (Ant)

Baca Juga: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: