Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Revisi UU Perikanan jangan Hanya Produksi, Kata Nelayan

Revisi UU Perikanan jangan Hanya Produksi, Kata Nelayan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Revisi Undang-Undang Perikanan jangan hanya terfokus kepada produksi yang mengutamakan keberpihakan terhadap pelaku usaha besar tetapi harus bisa menyejahterakan seluruh nelayan dan pekerja sektor perikanan, kata organisasi nelayan.

"Secara politik hukum UU Perikanan berfokus berat kepada kegiatan produksi. Hal ini dilihat dari lebih 100 pasal dalam UU Perikanan, sebanyak 52 persen membahas tentang produksi," kata Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Senin (27/2/2017).

Menurut dia, revisi UU Perikanan dengan draf terakhir tertanggal 13 Februari 2017 juga masih berbicara pada tataran yang sama yaitu bertumpu kepada aspek produksi.

Revisi UU Perikanan itu, ujar dia, seharusnya melakukan porsi yang besar dengan pembagian usaha perikanan dengan menekankan kegiatan pasca-produksi. "Dengan menekankan kegiatan pasca-produksi akan meningkatkan nilai komoditas perikanan yang dapat bersaing di dalam maupun di luar negeri," katanya.

Ia mengingatkan bahwa sekitar 13 juta tenaga kerja di sektor perikanan, sebanyak 51 persen beraktivitas di produksi (tangkap dan budidaya), 38 persen di pemasaran, dan hanya 11 persen di sektor pengolahan.

Padahal dengan lapangan kerja yang terbuka di bagian pascaproduksi yaitu di pengolahan, lanjutnya, maka akan membuka lapangan pekerjaan yang lebih besar. "Namun tentu dengan adanya perlindungan pekerja yang baik meliputi kondisi kerja yang layak, perlindungan asuransi dan masa tua, pengawasan ketenagakerjaan yang kuat hingga masalah pengupahan," katanya.

Ia juga menyorot sejumlah kasus "mark down" kapal perikanan yang berimbas kepada pelanggaran kewajiban pajak yang dinilai juga belum diselesaikan oleh revisi UU Perikanan.

Sejumlah pihak berpendapat bila revisi Undang-Undang Perikanan bila jadi dilakukan maka harus berlandaskan aspek keadilan dan transparansi agar dapat mengembangkan nelayan kecil dan tradisional serta pelaku UKM sektor kelautan dan perikanan nasional.

"Perubahan terhadap UU Perikanan harus dilakukan dalam rangka memastikan roda usaha perikanan berlangsung secara berkelanjutan dan bertanggung jawab melalui mekanisme adil dan terbuka," kata Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanities, Abdul Halim, di Jakarta, Rabu (22/2).

Hal itu, ujar Abdul Halim, terlebih bagi pelaku usaha perikanan dalam negeri mulai dari skala mikro hingga ke tingkat di atasnya.

Menurut dia, pelaksanaan roda usaha perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab harus menyeimbangkan pendekatan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup secara adil dan transparan.

"Apa yang dipraktikkan hari ini justru bertolak belakang dengan prinsip berkelanjutan dan bertanggung jawab. Bahkan cenderung kepada pemikiran eko-fasisme," katanya.

Ia menegaskan bahwa nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir di Republik Indonesia harus menjadi tuan rumah di Tanah Air.

Sebelumnya, UU terkait sektor perikanan dinilai perlu diselaraskan dengan semangat KKP di bawah pimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti agar kebijakan yang ada tidak dihapus bila rezim berganti.

"Kami melihat potensi ancamannya besar. Bila pada 2019 UU Perikanan tidak diubah sesuai semangat KKP, maka akan terjadi kemunduran," kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution dalam diskusi di Jakarta, Jumat.(Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: