Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dari Greenpeace Hingga Walhi, Tolak Reklamasi!

Dari Greenpeace Hingga Walhi, Tolak Reklamasi! Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang terus menjadi kontroversi di tengah masyarakat saat ini masih belum mendapatkan kejelasan yang pasti, apakah akan diteruskan, atau dihentikan, atau ada solusi yang membahagiakan semua pihak.

Sejumlah pihak seperti Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, reklamasi Teluk Jakarta yang saat ini masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat memerlukan keterbukaan informasi agar rakyat mendapat kejelasan.

"Informasi yang disampaikan sangat penting. Karena pada kesempatan sebelumnya, Menko Maritim Luhut Panjaitan menyatakan reklamasi Teluk Jakarta dapat dilanjutkan dan ini bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Menko Maritim sebelumnya, Rizal Ramli," kata Pelaksana Sekretaris Jenderal Kiara, Arman Manila.

Kiara juga termasuk dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang telah memasukkan gugatan ke Komisi Informasi Pusat untuk mendapatkan informasi Hasil Kajian Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta, baik kajian lingkungan, sosial, maupun hukum.

Arman mengemukakan bahwa pada prinsipnya, segala informasi terkait dengan proyek pembangunan yang berdampak besar, terutama terhadap lingkungan hidup, merupakan kepentingan publik sebagaimana tertera di dalam pasal 70 UU 32 Tahun 2009.

"Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan aktif dalam perlindungan lingkungan hidup," kata Sekjen Kiara.

Koalisi berharap, jika memang kajian Komite Gabungan dari beberapa kementerian yang dibentuk dalam proses moratorium Reklamasi Teluk Jakarta telah dibuat, maka penting jika informasi tersebut diberikan pada saat agenda persidangan berikutnya.

Sementara itu, Greenpeace Indonesia menyatakan konsisten menolak rencana reklamasi pantai di Teluk Jakarta karena dinilai akan menimbulkan masalah dan bencana ekologis baru serta tidak menghormati norma hukum dan regulasi yang berlaku.

"Reklamasi bukan solusi. Bahkan malah akan menimbulkan masalah baru. Salah satunya adalah peningkatan secara drastis kadar polusi air Teluk Jakarta, karena adanya 17 pulau buatan akan mengurangi secara signifikan kecepatan arus dan volume air Teluk Jakarta," kata Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak.

Menurut dia, berkurangnya kecepatan arus dan volume air Teluk Jakarta bakal membuat kemampuan cuci alami air Teluk Jakarta terhadap berbagai polutan akan menurun secara drastis.

Greenpeace Indonesia mencermati seluruh perdebatan intelektual, serta dampak sosial ekologis yang sudah dan akan terjadi terhadap masyarakat pesisir Teluk Jakarta.

Menurut Leonard, dari seluruh argumen yang dikemukakan pihak pendukung reklamasi, tidak ada yang dapat meyakinkan bahwa reklamasi dapat menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan di Jakarta seperti penurunan (amblasnya) muka tanah, banjir rob, penghisapan air tanah secara masif, dan pencemaran kronis terhadap sungai-sungai di Jakarta, dan terhadap Teluk Jakarta itu sendiri.

"Pembuatan pulau-pulau reklamasi, yang terutama ditujukan bagi hunian dan kegiatan bisnis kelas menengah atas, diperkirakan akan menyebabkan peminggiran total kepada masyarakat nelayan miskin Teluk Jakarta, dan secara masif akan memperlebar ketimpangan sosial ekonomi di Jakarta," tandas Leonard.

Konsisten Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan, sejak tahun 1990-an secara konsisten menolak berbagai proyek pengurukan laut (reklamasi) yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di antaranya proyek reklamasi di Kapuk, suatu kawasan ekosistem mangrove (bakau), yang diuruk menjadi daratan seluas 831 hektar dan diubah menjadi kompleks perumahan ekslusif bernama Pantai Indah Kapuk.

Proyek reklamasi pantai ini mengakibatkan lebih dari 20 juta meter kubik air (atau setara dengan 8.000 kolam renang standar Olimpiade) kehilangan tempat penampungannya dan akhirnya membanjiri daerah-daerah di sekitarnya. Jika proyek-proyek reklamasi lain dilakukan di pantai utara Jakarta maka potensi banjir akan semakin parah.

Reklamasi 17 pulau palsu yang telah direstui oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memiliki total luas sekitar 5.153 hektare. Ini berarti akan ada sekitar 124 juta meter kubik volume air yang harus berpidah tempat, atau setara dengan sekitar 49.000 kolam renang ukuran Olimpiade.

Menurut Walhi, permasalahan di darat perlu diselesaikan di darat. Jangan mengakumulasi permasalahan di darat dan mencoba menyelsaikannya di laut. Akibatnya, laut akan selalu menjadi tempat sampah dan tempat bertumpuknya berbagai kesalahan tata kelola lingkungan hidup di darat. Pencemaran sungai akibat limbah cair domestik dan industri harus diselesaikan dari sumbernya. Penerapan sanksi yang tegas terhadap industri pencemar serta peralihan kepada moda produksi bersih mutlak dilakukan.

Sedangkan untuk menahan laju penurunan muka tanah yang diakibatkan oleh beban gedung-gedung bertingkat yang ada di Jakarta, maka pemerintah Provinsi perlu melakukan moratorium terhadap maraknya pembangunan gedung-gedung bertingkat. Terus membangun gedung-gedung bertingkat di satu sisi dan kemudian berharap amblesan tidak terus terjadi adalah suatu kebijakan tidak realistis.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: