Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

KPK Belum Bisa Jelaskan Hasil Penggeledahan di Bea Cukai

KPK Belum Bisa Jelaskan Hasil Penggeledahan di Bea Cukai Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bisa menyampaikan hasil penggeledahan di kantor Bea Cukai, Rawamangun Jakarta terkait penyidikan suap mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar.

"Penggeledahan dimulai dari sekitar pukul 11.00 WIB dan karena penyidik masih di lapangan kami belum bisa sampaikan perkembangan apa saja yang disita dari lokasi tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin (6/3/2017).

Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengatakan bahwa kedatangan tim KPK untuk mendapatkan berkas atau dokumen impor terkait penyidikan kasus indikasi suap terhadap Patrialis Akbar tersebut.

"Jadi, baru saja kedatangan dari rekan tim KPK yang bermaksud untuk mendapatkan beberapa berkas atau dokumen impor dan juga "soft copy" terkait dengan giat penyidikan salah importir yang terlibat dalam kasus suap yang libatkan hakim MK," kata Heru di Jakarta, Senin.

Menurut Heru, dokumen-dokumen yang diminta KPK juga ada di beberapa tempat misalnya di Tanjung Priok dan Marunda.

"Ini kami akan lakukan identifikasi lagi kantor-kantor mana yang menyimpan dokumen-dokumen. Artinya, dokumen kami nanti serahkan, kami berikan beberapa data importir. Kemudian kami lakukan pengumpulan. Nanti dari lapangan, akan di bawa ke sini untk diserahkan kepada KPK karena KPK harus ada pengesahan dari kami," ujarnya.

Ia pun menyatakan bahwa KPK hanya meminta Bea Cukai untuk mengumpulkan dokumen-dokumen tersebut.

"Kami kumpulkan tidak ada dokumen yang diambil. KPK kasih daftar saja dan kami kumpulkan, importir ada sembilan," ucap Heru.

Menurut Heru, pada prinsipnya Bea Cukai mendukung kegiatan ini dan tadi kami melakukan kordinasi untuk pemenuhan dokumen yang diminta untk dikumpulkan oleh KPK.

"Ini juga sejalan dengan apa yang djlajukan dengan Kemenkeu, KPPU, dan Ditjen Pajak di mana telah menandatangani MoU untuk melakukan penelitian terhadap kegiatan usaha yang terindikasi kartel," tuturnya. Patrialis ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman agar permohonan uji materil Perkara No 129/PUU-XIII/2015 tentang UU Nomor 41 Tahun 2014 Peternakan Dan Kesehatan Hewan agar dikabulkan MK.

Perkara No 129/PUU-XIII/2015 itu sendiri diajukan oleh 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Asnawi dan Rachmat Pambudi yang merasa dirugikan akibat pemberlakuan zona "base" di Indonesia karena pemberlakuan zona itu mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.

UU itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "Zone Based", dimana impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) hewan ternak bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), termasuk sapi dari India.

Hal itu berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni "country based" yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru. Australia adalah negara asal sapi impor PT Sumber Laut Perkasa.

Patrialis bersama dengan orang kepercayaannya Kamaludin disangkakan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama seumur hidup atau 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Tersangka pemberi suap adalah Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, yang disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Kamis (16/2) telah memutuskan hakim konstitusi Patrialis Akbar melakukan pelanggaran berat dan menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: