Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kementan Ajak Pelaku Perkebunan Lawan Black Campaign

Kementan Ajak Pelaku Perkebunan Lawan Black Campaign Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Jenderal?Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengimbau kepada seluruh pelaku perkebunan baik perusahaan ataupun petani untuk bersama-sama menguatkan perkebunan. Ia mengatakan bahwa?hingga saat ini ada banyak pihak yang ingin mengerdilkan perkebunan Indonesia.

"Hal ini terlihat dengan adanya pihak yang menghambat atau bahkan melakukan black campaign (kampanye hitam) kepada perkebunan. Tanda-tanda tersebut terlihat pada komoditas perkebunan kelapa sawit dan kakao. Bahkan, ada banyak pihak yang tidak mengerti kelapa sawit tapi suaranya kencang," jelas Bambang dalam diskusi perkebunan dengan tema Antisipasi Kebakaran untuk Menuju Perkebunan Berkelanjutan?yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan di Jakarta, Minggu (12/3/2017).

Lebih lanjut, menurut Bambang, banyaknya pihak yang ingin mematikan perkebunan Indonesia karena perkebunan memiliki banyak manfaat bagi negara lain, contohnya kelapa sawit. Saat ini banyak negara yang sedang mencari energi terbarukan untuk menggantikan energi yang berasal dari fosil yang jumlahnya semkin berkurang dan itu ada pada kelapa sawit.

Terbukti berdasarkan data oil world, dalam satu hektare (Ha) kebun kelapa sawit akan menghasilkan rata-rata 3,6 ton minyak, sedangkan satu Ha kebun kedelai hanya menghasilkan rata-rata 0,39 ton minyak nabati. Efisiensi lahan ini dimungkinkan karena kelapa sawit adalah tanaman tahunan yang berbuah sepanjang tahun dibandingkan kedelai yang merupakan tanaman musiman.

"Atas dasar itulah negara-negara penghasil minyak nabati merasa ketakutan kepada Indonesia yang saat ini sebagai penghasil minyak nabati terbesar yang berasal dari kelapa sawit," jelas Bambang.

Tidak hanya itu, menurut Bambang, dengan lebih efisiennya kelapa sawit dibandingkan minyak nabati lain maka munculah berbagai tuduhan kepada kelapa sawit dengan mengatakan bahwa kelapa sawit tidak sustainable (ramah lingkungan).

Padahal jika diihat secara budidaya, usia tanaman kelapa sawit atau dalam satu siklus mencapai 25 tahun, sedangkan tanaman kedelai hanya empat bulan. Artinya, kelapa sawit dalam 25 tahun baru dilakukan peremajaan, sedangkan tanaman kedelai empat bulan sekali harus dibongkar dan diganti tanaman baru atau dalam satu tahun dilakukan tiga kali peremajaan.

"Melihat hal ini maka harus ada pembuktian bahwa kelapa sawit telah menerapkan pola sustainable melalui sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)," tegasnya.

Sekretaris Jenderal?Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mendukung 100 persen sertifikasi ISPO. Bahkan, imbuhnya, bila perlu sertfikasi tidak hanya sampai produk crude palm oil (CPO) tapi hingga produk turunannya atau sertifikasi supplay change.

"Sebab kita melakukan ekspor tidak hanya dalam bentuk CPO, tapi juga dalam bentuk turunan," jelas Togar.

Sehingga, menurut Togar, agar adanya sertifikasi supplay change maka diperlukan penguatan terhadap ISPO sebab penguatan ISPO perlu dilakukan agar negara luar bisa mengakui ISPO secara penuh.

"Ini kita lakukan agar ISPO bisa lebih diakui. Untuk itu, kita harus serius dalam membahas penguatan ISPO. Selain itu, penguatan ISPO juga perlu dilakukan mengingat konsumen khususnya Uni Eropa di tahun 2020 hanya menerima produk bersertifikasi sustainable," ungkap Togar.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal?Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad yang mengatakan sebaiknya sertifikasi ISPO bisa dilakukan secara total. Bila perlu petani pun juga diwajibkan sertifikasi ISPO.

Sebab jika mengacu kepada data Kementerian Pertanian, dari total luas perkebunan kelapa sawit yang saat ini mencapai 11,9 juta Ha sebanyak 4,7 juta Ha dikuasai oleh petani pekebun. Artinya, tidak sedikit tandan buah segar (TBS) yang berasal dari petani yang diolah oleh pabrik kelapa sawit (PKS) dalam hal ini perusahaan.

"Artinya dari total CPO yang mencapai sekitar 32 juta ton, sebanyak 44 persennya berasal dari kebun milik petani," ucap Asmar.

Melihat pentingnya sertifikasi ISPO, Asmar mengusulkan agar adanya koperasi di setiap desa. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan dalam melakukan sertifikasi ISPO. Bahkan, fungsi dari koperasi juga dapat digunakan untuk mengakomodir lahan petani yang sudah tua dan harus sesegera mungkin dilakukan peremajaan.

"Jadi, kita sedang merancang setiap kebun petani mempunyai koperasi. Apalagi, menghadapi peremajaan harus ada koperasi,? imbau Asmar.

Sehingga ke depan, menurut Asmar, dengan adanya sertifikasi ISPO tidak ada alasan lagi untuk tidak membeli produk turunan kelapa sawit yang berasal dari Indonesia sebab melalui sertifikasi ISPO sudah menjadi pembuktian bahwa kelapa sawit di Indonesia benar-benar sustainable.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: