Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ada Pasal Karet dalam UU Monopoli?

Oleh: Anggres Yudistira, Mahasiswa Konsentrasi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM

Ada Pasal Karet dalam UU Monopoli? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Beberapa saat lalu dunia perindustrian Indonesia dikejutkan dengan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM) terbukti melakukan kartel sebagaimana yang dilarang dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Disinyalir, awal mula kecurigaan KPPU dengan adanya kenaikan harga terhadap sepeda motor skuter matik yang saling beriringan antara dua perusahaan asal Jepang tersebut. Selain itu, kedua perusahaan tersebut juga menguasai 97% pangsa pasar di kelas motor skuter matik 110-125 cc di Indonesia.

Atas praktik kartel itu, KPPU menjatuhkan sanksi denda kepada Yamaha sebesar Rp25 miliar, Honda sebesar Rp22,5 miliar. Putusan ini dibacakan oleh Ketua Majelis Komisi Tresna Priyana Soemardi serta R Kurnia Syaranie dan Munrokhim Misanam sebagai anggota Majelis Komisi di Ruang Sidang KPPU, Jakarta, Senin (20/2/2017).

Namun pada 14 Maret 2017 lalu, sebagaimana dilansir WartaEkonomi.co.id, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan masih terdapat pasal karet dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 yang kemungkinan membuat rancu pelaksanaan fungsi pengawasan oleh KPPU. Pasal karet yang dimaksud adalah tidak adanya batas-batas atau standar yang jelas dalam hal apa pelaku usaha dikategorikan melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Dalam kasus ini, penulis melihat ada beberapa kekeliruan. Pertama, penguasaan pangsa pasar oleh dua perusahaan tersebut hingga 97% jelas melanggar ketentuan Pasal 25 Ayat (2) Huruf b UU Nomor 5 Tahun 1999. Pasal tersebut melarang penyalahgunaan posisi dominan oleh dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha untuk menguasai pangsa pasar melebihi 75% persen atas satu jenis barang atau jasa tertentu.

Kedua, pernyataan Hariyadi Sukamdani sebagaimana penulis singgung di atas juga terdapat kekeliruan. Pasalnya, pada dasarnya aturan hukum itu bebas tafsir, setiap orang bebas menafsirkan maksud dari suatu peraturan perundang-undangan. Namun bagi hakim, terdapat metode-metode yang harus diikuti dalam melakukan penafsiran hukum.

Pasal tersebut bukanlah pasal karet karena dalam ilmu hukum dikenal beberapa metode dalam menafsirkan hukum, di antaranya adalah interpretasi subsumtif di mana penafsiran dari suatu peraturan terhadap kasus in-konkreto tanpa perlu penalaran sama sekali dan hanya menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut.

Selain itu, untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran terhadap larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dikenal dua pendekatan, yaitu perse illegal dan rule of reason.

Perse illegal adalah suatu perbuatan yang secara inheren bersifat dilarang atau illegal di mana tidak diperlukan pembuktian terhadap dampak dari perbuatan tersebut. Maksudnya, hakim boleh saja memutus bersalah suatu pelaku usaha yang secara nyata melakukan praktik monopoli tanpa harus membuktikan dampak-dampak dari tindakannya tersebut. Larangan ini bersifat tegas dan mutlak karena perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan sehingga tidak perlu lagi pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya, pendekatan ini melihat perilaku atau tindakan yang dilakukan bertentangan dengan hukum.

Pendekatan rule of reason merupakan transformasi dari pendekatan perse illegal. Pendekatan ini terbilang lebih luwes karena dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 sebenarnya diperkenankan untuk memonopoli atau memiliki posisi dominan dalam suatu pasar, namun yang dilarang adalah praktik monopoli yang berakibat pada terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat dengan memperhatikan dampak yang terjadi akibat tindakan pelaku usaha tersebut.

Oleh karena itu, pernyataan Ketua Apindo yang mempertanyakan pasal karet dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah hal yang keliru. Sepanjang hakim menilai bukti-bukti dan dampak yang dihasilkan dari perjanjian atau tindakan yang dilakukan pelaku usaha bertentangan dengan undang-undang maka putusan itu sah adanya dan harus dipatuhi. Selain itu, kartel jelas merugikan masyarakat, meskipun di satu sisi dapat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak penjualan yang dibayarkan pengusaha pada kas negara.

Karena itu, demi mewujudkan persaingan yang fair dalam dunia usaha di Indonesia, pemerintah harus saling mendukung dan bukan melemahkan hanya untuk kepentingan pribadi maupun golongan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: