Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Komisi VII Wacanakan Badan Usaha Khusus Migas

Komisi VII Wacanakan Badan Usaha Khusus Migas Kredit Foto: Ferry Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mewacanakan adanya badan usaha khusus minyak dan gas bumi (migas) sebagai salah satu implikasi revisi undang-undang migas.

"Prosesnya sampai saat ini sedang dalam proses pembicaraan Badan Usaha Khusus, tapi bukan Badan Usaha Milik Negara, karena itu hal berbeda," kata Satya Yudha usai diskusi di gedung The Habibie Center, Jakarta Selatan, Senin (20/3/2017).

Ia menjelaskan, ada satu konsep yang diwacanakan oleh kementerian BUMN. Namun, perlu diingat bahwa UU migas domain komisi VII, tetapi terkait BUMN ada di komisi VI.

"Kami tidak ingin berseberangan dengan kementerian BUMN dengan UU yang digodok. Muncul pemikiran kami membuat badan usaha khusus, di dalamnya ada industri hulu dan hilir," katanya.

Ia menjelaskan bahwa hal ini berbeda dengan konsep sebelumnya yang hanya mengatur industri hulu, namun kali ini akan ada pembicaraan tentang industri hulu dan hilir.

Secara fungsi, ia mengatakan bahwa badan usaha khusus ini bekerja layaknya SKK Migas, bisa menjadi transformasi SKK Migas yang disesuaikan dengan Revisi UU.

Semua fraksi juga disampaikan sudah menyepakati usulan ini. Senada dengan Satya, peneliti senior dari The Habibie Center Zamroni Salim juga mengusulkan agar pemerintah membentuk badan usaha khusus yang menangani masalah minyak dan gas bumi (Migas).

"Untuk rekomendasi revisi undang-undang migas, kami mengusulkan adanya penguatan badan usaha untuk memperkuat pengolahan migas nasional, bisa saja melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), namun akan lebih tepat jika Badan Usaha Khusus," kata Zamroni saat ditemui di lokasi yang sama.

Dalam diskusi mengawal revisi undang-undang migas tersebut, ia juga menjelaskan bahwa ada dua perusahaan besar milik Indonesia yang bisa dimanfaatkan, yaitu Pertamina dan PGN.

Selama ini ia menilai, Pertamina lebih mendapat perhatian lebih daripada PGN, namun secara fungsional sebenarnya sama.

"Konsep Holding migas akan bisa lebih baik, dengan skema perusahaan minyak lainnya berada di bawah Holding tersebut jika ingin melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia," katanya.

Ia berpendapat bahwa ada satu agenda penting bangsa Indonesia hampir tidak mendapatkan perhatian publik luas, yaitu proses revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. "Revisi undang-undang migas seakan juga menjadi isu di tingkat elite saja, tanpa keterlibatan dan perhatian publik," tuturnya.

PadahaI proses panjang dan berliku revisi undang-undang migas menunjukkan terdapat tarik ulur kepentingan dari berbagai pihak dalam proses politik tersebut. Karena itu, isu revisi undang-undang migas mutlak memerlukan pengawasan publik secara Iebih luas.

Revisi undang-undang migas memberikan peIuang bagi Indonesia untuk membangun dan menata ulang kebijakan energi dengan tujuan untuk mewujudkan ketahanan energi, dalam arti mampu mencukupi kebutuhan energi dengan harga terjangkau sekaligus mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang migas untuk memiliki daya saing kuat baik di tingkat nasionaI maupun di tingkat global.

Kondisi ini merupakan dasar dari urgensi melakukan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 dengan sebuah undang-undang yang dapat menjadi kerangka hukum untuk tata kelola industri migas Indonesia.

SeIain itu, permasalahan energi sebagaimana terdapat di dalam undang-undang migas, tidak sebatas pada minyak melainkan juga gas. Meskipun cadangan gas alam Indonesia cukup besar, tetapi diperlukan paradigma baru dalam manajemen pengelolaannya.

Revisi undang-undang migas pun harus terkait dengan masalah energi Iain (energi terbarukan) dengan pertimbangan ketersediaan cadangan migas dan lingkungan hidup. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: