Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Erdogan Desak AS Cabut Larangan Laptop di Pesawat

Erdogan Desak AS Cabut Larangan Laptop di Pesawat Kredit Foto: Reuters
Warta Ekonomi, Jakarta -

Larangan membawa laptop di dalam kabin untuk penerbangan dari beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Turki yang diterapkan pemerintah Amerika Serikat dan Inggris, telah memicu kebingungan dan kemarahan di sebagian negara yang dimasukkan ke dalam daftar khusus.

Pemerintah Turki telah bersurat kepada Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump untuk menuntut agar Turki dikeluarkan dari daftar larangan, sehari setelah kebijakan keamanan baru itu diumumkan oleh AS dan Inggris.

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mendesak AS dan Inggris untuk mencabut larangan penggunaan laptop dan komputer tablet di pesawat sesegera mungkin. "Saya berharap negara-negara ini, yakni Amerika Serikat dan Inggris, akan meninjau keputusan ini dan mencabutnya sesegera mungkin," kata Erdogan dalam wawancara di televisi, seperti dikutip dari laman BBC di Jakarta, Senin (27/3/2017).

Larangan itu mencakup 10 bandar udara di Jordania, Turki, Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Qatar, Uni Emirat Arab (UAE), dan Marokko, namun tidak memasukkan Israel, demikian cuitan Abdulkhaleq Abdullah, profesor ilmu politik di Uni Arab Emirat (UAE), dalam akun twitternya.

Emirates Airline dari Dubai, perusahaan penerbangan terbesar di Timur Tengah, mengatakan bahwa perintah tersebut berlaku pada 25 Maret 2017, dan sah sampai 14 Oktober 2017, demikian laporan Xinhua.

Sementara itu, perusahaan lain dari negara yang termasuk di dalam daftar larangan tersebut berturut-turut menyampaikan keberatan atas tindakan itu. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka mengatakan akan melaksanakan peraturan baru tersebut dalam waktu satu pekan.

Larangan yang diberlakukan oleh AS berdampak terhadap sekitar 50 penerbangan per hari dari sembilan maskapai, yakni Royal Jordanian, EgyptAir, Turkish Airlines, Saudia, Kuwait Airways, Royal Air Maroc, Qatar Airways, Emirates, dan Etihad Airways.

Sementara itu, larangan oleh otoritas Inggris berlaku bagi 14 maskapai, yakni British Airways, EasyJet, Jet2.com, Monarch, Thomas Cook, Thomson, Turkish Airlines, Pegasus Airways, Atlas-Global Airlines, Middle East Airlines, Egyptair, Royal Jordanian, Tunis Air, dan Saudia.

Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (DHS) mengutip serangan di pesawat dan bandara selama dua tahun terakhir sebagai alasan dikeluarkannya larangan tersebut. Menurut DHS, penerapan aturan ini adalah menanggapi penggunaan 'cara-cara inovatif' oleh teroris dalam melakukan serangan.

Bom, katanya, telah disembunyikan di barang-barang seperti kaleng minuman ringan, yang digunakan dalam jatuhnya sebuah pesawat Rusia di Mesir pada bulan Oktober tahun 2015 dengan hilangnya 224 jiwa, dan laptop yang digunakan dalam serangan Somalia tahun lalu.

Pelarangan laptop dan berbagai perangkat elektronik lain di pesawat secara teori mengurangi risiko penyalahgunaan perangkat-perangkat tersebut untuk menyembunyikan bom karena alat pemindai biasanya lebih canggih. Pakar keamanan Eropa akan bertemu pekan depan untuk membahas larangan AS dan Inggris larangan, surat kabar Guardian melaporkan.

Ahli penerbangan mengatakan larangan tersebut bisa memukul keuntungan maskapai sebagai risiko penurunan jumlah penumpang, penurunan kepuasan pelanggan dan biaya yang lebih tinggi terkait dengan bagasi skrining.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Gregor Samsa
Editor: Dewi Ispurwanti

Advertisement

Bagikan Artikel: