Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Harga Gabah di Bali Merosot Hingga 2,53 Persen

Harga Gabah di Bali Merosot Hingga 2,53 Persen Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Denpasar -

Harga gabah kering panen (GKP) pada tingkat petani di Bali sebesar Rp4.150,90 per kilogram pada bulan Maret 2017, atau merosot 2,53 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Februari 2017) yang tercatat 4.258,69 per kilogram.

"Demikian halnya dengan harga gabah pada tingkat penggilingan yang juga turun 2,42 persen dari Rp4.321,56 menjadi Rp4.217,01 per kilogram," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, Adi Nugroho, di Denpasar, Rabu (5/4/2017).

Meskipun harga gabah pada tingkat petani dan penggilingan di Bali merosot, namun harga yang dinikmati petani masih berada di atas harga patokan pemerintah (HPP) yang berlaku sejak Mei 2015 untuk tingkat petani sebesar Rp3.700 per kg dan tingkat penggilingan Rp3.750 per kg.

"Itu merupakan hasil pemantauan harga gabah yang kami lakukan di tujuh kabupaten di Bali yakni Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Karangasem dan Buleleng selama bulan Januari 2017," ujar Adi Nugroho.

Secara terpisah, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana menjelaskan pemerintah pusat menargetkan luas tanam yang harus dicapai Pulau Dewata selama 2017 terkait program upaya khusus (Upsus) swasembada padi seluas 170.000 hektare.

Oleh karena itu, pihaknya bekerja keras untuk mencapai sasaran tersebut sesuai potensi dan kemampuan yang dimiliki, karena selama ini penanaman padi umumnya meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

Selama tahun 2016, Bali mampu mencapai luas tanam padi hingga 156.000 hektare dan tahun 2017 akan dapat ditingkatkan menjadi 170.000 hektare di delapan kabupaten dan satu kota di Bali.

Ia menjelaskan, salah satu kendala dalam pencapaian target tersebut karena karakteristik pertanian di Bali sangatlah unik. Antar kelompok Subak memiliki peraturan masing-masing, sehingga tidak bisa diharuskan menanam padi secara serentak sesuai dengan jadwal.

"Sejumlah subak juga masih fanatik dengan kearifan lokal, sehingga mereka hanya bersedia menanam padi pada waktu-waktu yang telah ditentukan atau sering disebut dengan hari baik," ujarnya.

Permasalahan tersebut juga disertai terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang mencapai ratusan hektare dalam setiap tahun, sehingga luas tanaman dikhawatirkan semakin berkurang.

Untuk menggugah sekaligus memotivasi petani agar tidak khawatir menanam padi, Wisnuardhana menyampaikan jajarannya bekerja sama dengan PT Jasindo dalam asuransi untuk petani, yakni memberikan layanan Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP).

"Pada 2016, sebanyak 21 ribu hektare padi sudah diasuransikan, tahun ini luasnya akan ditingkatkan menjadi 29 ribu hektare untuk musim tanam Oktober-Maret, dan April-September," ujar Ida Bagus Wisnuardhana. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: