Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

KPK: Terbuka Kemungkinan Miryam Ajukan 'Justice Collaborator' Terkait Korupsi e-KTP

KPK: Terbuka Kemungkinan Miryam Ajukan 'Justice Collaborator' Terkait Korupsi e-KTP Kredit Foto: Fajar Sulaiman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah mengatakan terbuka kemungkinan bagi Miryam S Haryani mengajukan sebagai "justice collaborator" dalam kasus korupsi pengadaan paket KTP elektronik/e-KTP 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.

"Ketika sudah menjadi tersangka tidak menutup kemungkinan bagi yang bersangkutan untuk mengajukan diri sebagai 'justice collaborator', karena itu akan lebih menguntungkan baik bagi tersangka dan bagi penegak hukum sendiri," kata Febri, di gedung KPK, Jakarta, Senin (10/4/2017)..

Miryam, mantan anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, karena diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar dalam persidangan, dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.

Febri juga mengingatkan bahwa pengajuan diri sebagai "justice collaborator" tidak dibatasi oleh waktu, sehingga KPK mempersilakan yang bersangkutan untuk mengajukannya.

"Saya kira silakan saja, mengingat ancaman pidana dalam kasus keterangan palsu itu cukup tinggi, belum lagi ada indikasi lain," kata Febri pula.

Dalam penyidikan kasus ini, KPK juga telah memeriksa pengacara Elza Syarief terkait pertemuan dengan Miryam S Haryani di kantor Elza.

"Pengacara Elza Syarief kami panggil untuk klarifikasi sejumlah hal terkait kedatangan saksi Miryam ke kantor Elza Syarief menyampaikan ada tekanan atau hal lain, itu yang kami dalami lebih lanjut. Siapa saja pihak yang melakukan tekanan ke saksi, sehingga mendorong saksi untuk ubah keterangan dalam persidangan," ujar Febri.

Elza sendiri membantah dirinya yang mengusulkan agar Miryam S Haryani mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) dalam proses penyidikan kasus pengadaan paket KTP elektronik.

"Untuk apa saya usukan cabut BAP dia, justru saya ingin dia jadi 'justice collaborator'," kata Elza pula.

Elza juga menyatakan bahwa penyidik KPK juga mengambil barang bukti berupa kopian data dari kamera pengintai atau CCTV untuk melihat kedatangan Miryam S Haryani ke kantornya.

"Kami sudah cek bukti CCTV itu ke kantor yang bersangkutan dan ternyata memang isi atau informasi yang terdapat di sana belum kami temukan yang relevan dengan perkara ini karena ada persoalan teknis di sana. Kami akan cari bukti yang lain untuk memperkuat indikasi pemberiam keterangan yang tidak benar untuk tersangka," kata Febri.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman, dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan, sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, dan mantan anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan Miryam S Haryani disangkakan melanggar pasal 22 juncto pasal 35 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Advertisement

Bagikan Artikel: