Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indonesia Tak Sabar Kuasai Freeport

Oleh: Anggres Yudistira, Mahasiswa Konsentrasi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM

Indonesia Tak Sabar Kuasai Freeport Kredit Foto: Freeport Indonesia
Warta Ekonomi, Yogyakarta -

Pasca-dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pertikaian antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia kian memanas.

Pasalnya, melalui PP Nomor 1 Tahun 2017 tersebut terlihat begitu besar keinginan Indonesia untuk menguasai Freeport. Tentu saja, Freeport tidak rela begitu saja dengan regulasi yang telah disahkan pada 11 Januari 2017 lalu tersebut.

Tulisan ini bukanlah ditujukan untuk memojokkan pemerintah Indonesia karena bagi penulis sendiri memang sudah saatnya Indonesia melakukan upaya untuk menekan dan mengambil alih kendali atas cengkeraman Freeport terhadap kekayaan Indonesia di Papua. Namun, di sini penulis ingin berbagi bahwa ternyata politik itu sangat indah bila menguntungkan pengendalinya, namun tidak di satu pihak.

Melalui PP Nomor 1 Tahun 2017 ini, Pemerintah Indonesia mengizinkan Freeport untuk melakukan ekspor atas bahan tambang mineral mentah (konsentrat) dengan syarat tertentu. Setidaknya ada tiga poin utama yang menjadi syarat dibenarkannya ekspor bahan tambang konsentrat dalam PP Nomor 1 tahun 2017 tersebut.

Pertama, adanya keharusan perubahan bentuk perjanjian yang semula berupa Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang dua kali.

Kedua, adanya kewajiban bagi Freeport untuk membangun smelter/pemurnian dalam waktu lima tahun dan akan ditinjau oleh Pemerintah pembangunannya setiap enam bulan sekali. Ketiga, adanya kewajiban divestasi saham PT Freeport Indonesia sebanyak 51%.

Sekilas, tentu kita berpikir bahwa poin-poin tersebut sangatlah porposional, menguntungkan kedua belah pihak, namun tidak bagi penulis sendiri. Justru poin-poin yang diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2017 tersebut sangat kentara akan politik Indonesia dalam menguasai Freeport. Untuk mengetahui maksud penulis, mari kita mulai dari poin ke-3.

Divetasi saham di sini adalah kewajiban untuk melepaskan kepemilikan saham PT Freeport Indonesia sebanyak 51% kepada Pemerintah Indonesia. Konsekuensinya adalah, berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas, dengan dimilikinya 51% atau lebih maka pihak tersebut adalah pemegang saham mayoritas yang suaranya sangat diperhitungkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Melalui ketentuan ini, setelah dilakukannya divestasi saham sebanyak 51% oleh Freeport, tentu mereka tak lagi punya kuasa mengendalikan perusahaan tambang raksasa tersebut.

Kedua, pada poin pertama, memang Freeport diizinkan untuk melakukan ekspor bahan mentah selama lima tahun, namun perpanjangannya hanyalah sebanyak dua kali. Artinya, hak tersebut hanya mereka miliki selama 15 tahun. Ketiga, Freeport diwajibkan membangun smelter dalam jangka lima tahun. Jika dihubungkan dengan poin sebelumnya, tentu akan ditemukan benang merah bahwa dalam kurun waktu 15 tahun Pemerintah Indonesia sudah berkuasa penuh atas perusahaan tambang tersebut. Dengan adanya smelter, tentu tak ada lagi ekspor bahan mentah, pada tahun ke-16.

Sekarang terlihat jelas, Pemerintah Indonesia melalui PP tersebut begitu ambisius ingin menguasai Freeport. Sayangnya, pemerintah melupakan suatu hal yang sangat penting. Pemerintah Indonesia melupakan kontrak karya yang dimiliki oleh Freeport masih berlaku hingga 2021. Sebagaimana diperjanjikan sebelumnya, bilamana terjadi sengketa antara kedua belah pihak maka sengketa dapat dibawa ke Arbitrase Internasional.

Lantas, bagaimana jika Freeport membawa kasus ini ke Arbitrase Internsional? Kesempatan Indonesia untuk menang adalah 0%. Kenapa? Karena jangka waktu perjanjian kontrak karya yang dimiliki Freeport belum berakhir.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: