Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Uber: Revisi Permenhub 32/2016 Perlu Dipertimbangkan Ulang

Uber: Revisi Permenhub 32/2016 Perlu Dipertimbangkan Ulang Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penyedia transportasi daring Uber mengapresiasi langkah pemerintah dalam Permenhub 32/2016 dan revisinya Permenhub 26/2017 untuk menetapkan panduan dan aturan untuk model bisnis berbagi tumpangan (ridesharing). Namun, revisi aturan tersebut justru berisiko menghambat berbagai manfaat yang dihadirkan ridesharing kepada para penumpang dan mitra pengemudi.

Uber dan aplikasi ridesharing lainnya berkembang pesat karena kehadiran Uber melengkapi transportasi publik yang ada dan mengubah kehidupan warga menjadi lebih baik mulai dari meningkatkan kesejahteraan, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, menghubungkan warga, dan menunjang sektor pariwisata. Semua tanpa membebani anggaran pemerintah.

Berikut beberapa manfaat ridesharing, diantaranya penumpang bisa menghemat 65% dari biaya dan 38% dari waktu perjalanan dengan menggunakan aplikasi Uber dibandingkan saat menggunakan kendaraan pribadi. 43% dari mitra pengemudi bukan berasal dari angkatan kerja sebelum bermitra dengan Uber 28% diantaranya pengangguran.?

"61% dari mitra mengemudi bersama Uber kurang dari 10 jam per minggu. 6% penumpang telah berhenti menyetir kendaraan pribadi dan 62% kini mengurangi frekuensi menyetir kendaraan pribadi setelah menggunakan Uber. 20% dari perjalanan di Jabodetabek diawali dan diakhiri di area-area yang tidak diakses kendaraan umum dan 30% perjalanan di Jakarta terjadi pada pukul 22.00-02.00 saat transportasi publik sangat terbatas," kata pihak Uber dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (5/7/2017).

Atas dasar itu, Uber menyatakan beberapa alasan mengapa pendekatan yang digunakan dalam revisi peraturan ini perlu dipertimbangkan ulang pertama pembatasan kuota kendaraan dan biaya perjalanan serta beratnya persyaratan, seperti pengalihan kepemilikan kendaraan menghalangi warga biasa yang ingin berbagi tumpangan dan membatasi akses warga terhadap layanan mobilitas yang terjangkau dan nyaman.

"Hal-hal ini tidak sejalan dengan semangat pemerintah untuk menggalakkan ekonomi kerakyatan dan berbeda dengan langkah pemerintah kota DKI Jakarta yang tahun 2016 menghapus kuota dan batasan tarif taksi demi terciptanya persaingan yang sehat dan memandang kuota dan biaya perjalanan ridesharing tidak perlu diatur karena melihat perbedaan model bisnisnya," paparnya.

Selain itu, persyaratan-persyaratan seperti pengalihan kepemilikan kendaraan, pemasangan kartu identitas, dan nomor kontak pelanggan di interior mobil dan sticker di kendaraan tidak memiliki manfaat langsung bagi keselamatan dan kenyamanan.

"Dan mungkin tidak lagi relevan karena kami menggunakan teknologi untuk meningkatkan keselamatan sebelum, selama dan setelah perjalanan dengan cara-cara yang tidak dimungkinkan sebelum era ponsel pintar. Persyaratan akses data realtime perlu dikaji ulang karena merupakan informasi bisnis yang sensitif serta dapat melanggar hak privasi pengguna individu aplikasi Uber. Sangat penting juga pemerintah bisa mempertanggungjawabkan bagaimana informasi ini akan digunakan," imbuhnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Dina Kusumaningrum
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi

Advertisement

Bagikan Artikel: