Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mendesak Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk segera membatalkan perjanjian RI-Australia tahun 1997 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu di Laut Timor.
"Perjanjian antara kedua negara itu tidak pernah diratifikasi oleh parlemen kedua negara dan tidak bisa diimplementasikan, karena Timor Timur telah berdiri menjadi sebuah negara merdeka melalui referendum pada 1999," katanya kepada pers di Kupang, Selasa (19/7/2016).
Perjanjian RI-Australia itu ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas dan Menlu Australia Alexander Downer di Perth, Australia Barat pada 1997.
Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu mengatakan perjanjian tersebut wajib dibatalkan, dan perlu dirundingkan kembali, karena sampai sejauh ini tidak pernah diratifikasi oleh parlemen kedua negara.
Selain itu, kata mantan agen imigrasi Australia tersebut, perjanjian RI-Australia itu harus dinyatakan kedaluarsa dan tidak bisa diimplementasikan lagi, karena Timor Timur telah berdiri menjadi sebuah negara baru di kawasan Laut Timor, dan bukan lagi menjadi bagian integral dari NKRI.
"Saat perjanjian itu ditandatangani, Timor Timur masih menjadi bagian integral dari NKRI, namun melalui referendum pada Agustus 1999, Timor Timur memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dengan melahirkan sebuah negara baru di kawasan Laut Timor bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL)," katanya.
Penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta" itu menambahkan dalam Perjanjian 1997 tersebut, hanya memuat 11 pasal, dan dengan tegas menyatakan "Perjanjian ini mulai berlaku pada saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi".
Namun, kata Tanoni, Australia secara sepihak mengimplementasikan Perjanjian 1997 tersebut tanpa mengindahkan pasal-pasal yang tercantum di dalamnya.
"Jika saja parlemen Australia telah meratifikasi Perjanjian 1997 tersebut, misalnya, Jakarta harus dengan tegas menolaknya, karena parlemen Indonesia tidak pernah meratifikasi Perjanjian 1997 dimaksud," katanya.
Ia menambahkan jika Perjanjian 1997 itu hendak diratifikasi sekarang, misalnya, maka Perjanjian RI-Australia itu sangat korup karena tidak sesuai lagi dengan fakta yang sebenarnya.
"Demikian pun halnya dengan MoU 1974. Nota Kesepahaman ini hanyalah sebuah alat politik belaka bagi Australia untuk melakukan aneksasi terhadap seluruh wilayah perairan Indonesia di sekitar Gugusan Pulau Pasir yang kaya dengan ikan dan biota laut lainnya serta memiliki sumber daya alam berupa migas yang berlimpah," ujar Tanoni.
Sedang, Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Pemerintah Australia dan Indonesia pada 1986 tentang Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Polusi Minyak di Laut yang seharusnya diimplementasikan dalam kasus petaka tumpahan minyak Montara 2009 di Laut Timor diabaikan bahkan dihindari begitu saja oleh Australia dengan berbagai alasan yang tidak rasional.
Tanoni yang meraih "Civil Justice Award Australian Lawyers Alliance 2013" ini kemudian mempertanyakan "Apakah kita (Indonesia) perlu mempertahankan hubungan bilateral dengan Australia yang hanya menguntungkan kepentingan Australia semata, sementara kepentingan Nasional Indonesia termasuk kedaulatan kita harus dikorbankan"? Atas dasar itu, Tanoni berpendapat, semua perjanjian kerja sama RI-Australia pada masa lalu perlu ditinjau kembali karena lebih banyak menguntungkan Australia.
"Sehubungan dengan itu, saya meminta Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membatalkan perjanjian RI-Australia yang ditandatangani pada 1997, dan perlu dirundingkan kembali secara trilateral dengan Timor Leste, karena telah berdiri menjadi sebuah negara merdeka di kawasan Laut Timor," demikian Ferdi Tanoni. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: