Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Polemik Pulau G, Ahok Adu Domba Jokowi dan Rizal Ramli?

Oleh: ,

Warta Ekonomi, Jakarta -

Pembatalan pembuatan Pulau G di Teluk Jakarta tak memerlukan keputusan presiden (keppres) dan peraturan presiden (perpres) yang baru. Pembatalan dilakukan karena dalam pelaksanaan reklamasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bertindak gegabah dan mengabaikan berbagai peraturan sehingga membahayakan lingkungan hidup dan proyek vital strategis yang ada di kawasan itu.

Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK) Teguh Santosa mengatakan bahwa dari sudut pandang komunikasi politik, pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang keberatan atas pembatalan itu bisa dimaknai sebagai upaya Ahok meminta perlindungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mengadu domba sang presiden dengan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli.

"Yang dikoreksi oleh Menko Kemaritiman dan Sumber Daya bukan Keppres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara atau Perpres 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Yang dikoreksi adalah cara Pemprov DKI melaksanakan keppres dan perpres itu yang terlihat melanggar berbagai aturan, termasuk mengabaikan perikemanusiaan dan perikeadilan," katanya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (2/7/2016).

Teguh mengatakan bahwa di dalam Keppres 52/1995 disebutkan reklamasi dilakukan dengan memperhatikan kepentingan lingkungan hidup dan sosial, kepentingan pelabuhan, kepentingan kawasan pantai berhutan bakau, kepentingan nelayan dan fungsi-fungsi lain yang ada di kawasan pantai utara.

"Reklamasi yang dilakukan Pemprov DKI melanggar Perpres 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam perpres itu disebutkan bahwa reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi. Sementara teknik reklamasi yang bisa dilakukan adalah dengan pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase," ujarnya.

Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menegaskan bahwa di dalam Perpres 122/2012 disebutkan penentuan lokasi reklamasi berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi. Sementara, Pemprov DKI Jakarta memulai reklamasi sebelum Perda RZWP3K diputuskan sehingga dapat disimpulkan bahwa reklamasi yang dilakukan itu bersifat liar dan cacat hukum.

"Jelas bahwa yang paling penting dari reklamasi adalah tujuannya. Apabila teknik yang dipilih malah membuat tujuan reklamasi tidak tercapai maka perlu dikoreksi," tegasnya.

Dosen London School of Public Relations (LSPR) Jakarta itu mengharapkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama bersikap kooperatif dalam menyikapi pembatalan itu dan mengoreksi pendekatan pembangunan yang selama ini dipilihnya, terutama yang terkait reklamasi di pantai utara Jakarta.

"Tidak elok bila Ahok membawa-bawa Presiden Jokowi ke tengah arena. Juga tidak pantas Ahok mempertanyakan bobot pernyataan seorang menko yang dapat dipastikan bertindak atas pengarahan dari presiden," sesalnya.

Apalagi, imbuhnya, perencanaan dan pelaksanaan reklamasi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta terlihat tidak rapi dan serampangan, mengabaikan kepentingan yang lebih luas, serta mengabaikan aspirasi masyarakat.

"Ini melanggar prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Cara Ahok menangani pembangunan Jakarta dengan serampangan terbukti dari banyaknya kasus yang belakangan muncul ke permukaan, mulai dari kasus pembelian lahan RS Sumber Waras dan kasus pembelian lahan di Cengkareng Barat, juga kasus penggusuran yang memupuk kebencian masyarakat padanya," pungkasnya.

Sebelumnya, Pemerintah secara resmi membatalkan proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta lantaran dinilai melakukan pelanggaran berat karena membahayakan lingkungan hidup, lalu lintas laut dan proyek vital. Pengembang Pulau G, yang merupakan anak perusahaan Agung Podomoro Land, PT Muara Wisesa Samudera, dinilai melakukan pelanggaran berat karena membangun di atas jaringan kabel listrik milik PT PLN (Persero).

Pulau itu juga dinilai mengganggu lalu lintas kapal nelayan yang seharusnya bisa dengan mudah berlabuh di Muara Angke.

Rizal menyebut, berdasarkan analisa Komite Gabungan, reklamasi Pulau G juga dibangun sembarangan secara teknis karena dampaknya yang merusak lingkungan hingga membunuh biota. Dalam rakor tersebut, diputuskan pula sejumlah pulau reklamasi yang melakukan pelanggaran sedang dan ringan, selain pelanggaran berat yang dilakukan pengembang untuk Pulau G.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: