Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sujanarko menegaskan maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia bukanlah suatu budaya.
"KPK tidak setuju bila dikatakan korupsi itu budaya karena budaya itu sifatnya membangun, bukan merusak", kata Sujanarko di hadapan seluruh pejabat Eselon 1 sampai 4 dalam acara sosialisasi pencegahan tindak pidana korupsi di lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop-UKM) di Jakarta, Kamis (11/8/2016).
Menurut Sujanarko, ada beberapa penyebab timbulnya korupsi di Indonesia di antaranya faktor struktural dan juga faktor sejarah di mana struktur oligarki yang dikuasai oleh elite lama.
"Desentralisasi juga menciptakan aktor dan modus baru korupsi di Indonesia, seperti misalnya pilkada. Berikutnya adalah kualitas regulasi untuk usaha, misalnya dalam pemberian izin usaha. Kualitas peradilan juga menjadi salah satu penyebab timbulnya korupsi. Penyebab korupsi lainnya adalah melimpahnya sumber daya alam suatu negara," ungkap Sujanarko.
Yang jelas, kata dia, korupsi itu bisa merusak harga pasar, merusak demokrasi, merusak kualitas hidup, dan mengancam kesinambungan pembangunan.
"Partai politik merupakan unsur atau elemen yang paling korup karena lewat parpol itu pejabat dipilih. Parpol juga yang membuat regulasi atau UU yang semuanya itu diarahkan untuk kepentingan kelompok mereka. Oleh karena itu, jadi pejabat itu harus memiliki integritas yang tinggi," tandas Sujanarko.
Sujanarko menjelaskan bahwa yang merupakan delik-delik korupsi yang diadopsi dari KUHP di antaranya delik yang terkait dengan kerugian negara, pemberian sesuatu kepada PNS (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, serta gratifikasi.
"Misalnya, ada pejabat memberikan sinyal pada pengusaha untuk memberikan sesuatu agar surat izin usahanya diteken, ini sudah masuk korupsi. Atau perbuatan curang di mana dalam pengadaan barang dilakukan oleh keluarga dari si pejabat yang bersangkutan," tegasnya.
Ia menambahkan niat jahat dari seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi itu bisa diukur. Caranya, dengan menelisik isi percakapan dari si pejabat tersebut. Bisa melalui telepon, SMS, WA, email, dan media sosial lainnya.
"Dari isi percakapan itu kita bisa mengukur niat jahat dari seseorang. Kalau tidak ditemukan niat jahat, itu namanya kelalaian", imbuhnya.
Tak hanya itu, Sujanarko mengungkapkan bahwa tidak semua kerugian negara itu bisa masuk ke dalam kategori korupsi.
"Contoh dalam hal pembelian barang atau jasa. Pembelian barang itu berkaitan erat dengan kompensi seseorang. Misalnya, ada pihak menemukan harga batik Rp200 ribu. Tapi, saya bisa membeli batik sejenis dengan harga Rp125 ribu karena istri saya pedagang batik besar. Itu bukan korupsi karena tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mendapatkan barang dari pihak yang harganya rendah. Kecuali, dia mendapatkan komisi atas harga barang tersebut," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharram menyatakan tujuan acara sosialisasi ini digelar untuk mengetahui delik dan ancaman tindak pidana korupsi agar diketahui oleh seluruh jajarannya.
"Kami ingin bekerja dengan baik dan benar di mana kita ingin sukses dalam menjalankan program-program juga sukses dalam administrasinya. Saya yakin tidak ada satu pun pejabat berniat korupsi. Hal itu hanya bisa terjadi karena ketidakmampuan secara administrasi yang akan terus kita perbaiki," kata Agus seraya menyebutkan bahwa Kemenkop dan UKM mendapat label Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK dan nilai 72 atas reformasi birokrasi.
Agus juga mengungkapkan pihaknya melakukan transparansi kerja yang bisa diketahui dan diawasi langsung oleh masyarakat.
"Kita memiliki pusat pengaduan atau call center. Bisa juga melalui media sosial yang kita miliki seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya. Bahkan, untuk pengurusan izin usaha mikro dan kecil, sertifikat notaris untuk koperasi, serta hak cipta, semunya gratis alias tidak ada pungutan liar," ujar Agus.
Selain itu, lanjut Agus, pihaknya juga aktif menggelorakan revolusi mental di mana di dalamnya mencakup integritas, etos kerja, dan gotong-royong.
"Integritas itu berarti kita jangan korupsi, sedangkan terkait etos kerja kita melakukan pengawasan melekat. Yang jelas, upaya-upaya mengarah ke profesionalisme PNS kan terus kita tingkatkan," pungkas Agus.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement