WE Online, Kupang - Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang Nikolaus Pira Bunga berharap Mahkamah Konstitusi (MK) segera membuka kekaburan hukum dalam penerapan pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres 2014.
Menurut dia, rumusan pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai bagian dari perwujudan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 6a ayat (3) dan ayat (4) memiliki multitafsir karena penerapannya sangat berbeda dengan kondisi nyata yang sedang berlangsung saat ini.
Dia menjelaskan bahwa dalam pasal 159 ayat (1) UU Pilpres disebutkan bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen berdasarkan jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam pilpres.
Sementara itu, ketentuan dalam pasal 6a UUD 1945 ayat (3) menyebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Rumusan undang-undang itu, menurut Nikolaus, memiliki pemaknaan jika paket calon presiden yang terjadi dalam Pemilu Presiden 2014 adalah lebih dari dua paket calon. Dengan begitu, dua paket calon yang memiliki suara terbanyak akan masuk dalam pemilu putran kedua.
"Dalam kondisi itulah maka penerapan ayat (2) pasal 159 bisa berjalan. Namun, melihat kondisi saat ini tidak mungkin karena hanya dua paket calon," katanya.
Pembuat undang-undang, kata Nikolaus, tidak pernah mengantisipasi terjadinya kemungkinan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diikuti hanya dengan dua paket seperti yang terjadi pada tahun 2014 ini. Oleh karena itu, pemaknaan pasal dalam undang-undang itu memiliki banyak tafsir yang akan sulit untuk diterapkan.
Dalam konteks penghargaan terhadap suara rakyat pemilih di seluruh Indonesia ada harapan tinggi bahwa pilpres bisa mungkin satu putaran dan bisa mungkin tidak sebagaimana arahan dan rumusan pasal 159 tersebut. Meski demikian, dalam konteks yang lebih besar undang-undang itu perlu diuji kembali untuk menghapus kekaburan hukum dan multitafsir sehingga bisa mendapatkan sebuah kepastian hukum selanjutnya.
Mantan Wakil Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang itu meminta MK selaku lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji materi undang-undang itu agar segera dengan cermat memutuskan uji materi yang diajukan oleh sejumlah anak bangsa demi mendaptkan kepastian hukum dan menghindari kerugian konstitusional serta pemborosan keuangan negara.
Nikolaus mengatakan pelaksanaan pilpres sebagai momentum demokrasi rakyat yang memberikan kesempatan kepada masyarakat pemilih untuk memilih para calon pemimpinnya dilakukan untuk satu tujuan kemakmuran dan kejayaan bangsa dan negara sehingga penting juga diatur sebuah rumusan pelaksanaan dan bangun demokrasi yang lebih cermat dengan tidak mengabaikan sejumlah hak dan kewajiban lainnya.
"Jadi, setidaknya jika terdapat kemungkinan pemilu bisa diminimalisir untuk kemungkinan penghematan anggaran. Saya kira harus dilakukan karena semuanya untuk kepentingan bangsa dan negara," katanya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement