Wakil Presiden RI ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK) sempat berbicara tentang bagaimana mengkritik pemerintah tanpa dipolisikan. Ucapan JK tersebut disinyalisasi masih berkelindan dengan pernyataan Prsiden Jokowi yang meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah. JK mengatakan bagaimana caranya mengkritik, tapi tidak dipanggil polisi?
Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (Sudra) Fadhli Harahab menilai, pernyataan mantan Ketua Umum Partai Golkar itu terlalu naif seakan-akan tidak pernah merasa berkuasa.
Baca Juga: SBY dan JK Kompak Tanggapi Jokowi, Ini yang Dilihat Refly Harun
"Terkesan lugu pernyataan Pak JK ini. Seperti tidak pernah berkuasa dan menangkap aktivis," kata Fadhli saat dihubungi SINDOnews, Minggu (14/2/2021).
Analis politik asal UIN Jakarta itu pun membeberkan sejumlah data penangkapan aktivis saat JK menjabat Wakil Presiden mendampingi Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia menyebutkan sejumlah nama seperti I Wayan Suardana alias Gendo aktivis mahasiswa dari Bali dan dua aktivis mahasiswa berasal dari Jakarta, yakni Bay Harkat Firdaus alias Jondhay dan Fahrurrahman alias Paung.
Fadhli menganggap, bahkan para aktivis tersebut karena aktivitasnya mengkritik penguasa saat itu harus mendekam dan merasakan dinginnya sel jeruji besi. "Pada awal pemerintahan SBY-JK teman-teman aktivis banyak yang ditangkap karena kritis terhadap pemerintah dengan dakwaan pasal karet. Mungkin bisa dicek kok jejak digitalnya ada di mbah google. Jadi benar juga kata Pak SBY kritik seperti obat, pahit tapi bisa cegah penyakit. Waktu itu Pak SBY dan JK mungkin merasakan pahit getirnya, maka sekarang beliau-beliau bilang begitu," ujarnya.
Terbaru, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu juga lupa pernah memolisikan orang diduga mantan politikus Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, dengan tuduhan dugaan pencemaran nama baik. Kendati demikian, Fadhli berharap kepada penguasa saat ini, yakni Pemerintahan Jokowi juga tak meneruskan tradisi buruk untuk membungkam suara-suara kritis dengan pemenjaraan kepada aktivis.
Salah satunya, Fadhli mengaku sepakat jika keberadaan buzzer bisa ditertibkan, entah buzzer yang propemerintah maupun buzzer yang dimanfaatkan untuk mendukung figur-figur tertentu. Ia menilai, keberadaan buzzer tak sehat bagi perkembangan demokrasi.
"Sederhananya, konstitusi kita mengatur hak masyarakat menyampaikan ekspresi, kritik, tetapi sesuai aturan juga, jangan sampai menyentuh atau melanggar hak orang lain," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum