WE Online, Jakarta - Masyarakat mengharapkan tim ekonomi Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mampu menjaga kepercayaan pasar di tengah kondisi perekonomian global yang tidak kondusif.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Rahmat Waluyanto menyatakan ada banyak dampak atas hilangnya kepercayaan pasar terhadap kondisi perekonomian, khususnya sektor keuangan. Dampak itu antara lain pasar menjadi sangat rentan terhadap gejolak yang dipicu faktor domestik maupun eksternal, adanya kekhawatiran investor asing yang memicu pelepasan saham dan surat berharga negara (SBN) dalam jumlah besar serta cepat sehingga cadangan devisa berkurang, nilai tukar rupiah jatuh, hingga nilai utang valuta asing pemerintah dan swasta meningkat.
"Harga saham dan SBN jatuh sehingga pemerintah sulit menerbitkan SBN baru untuk pembiayaan APBN, yaitu membayar pokok utang dan membayar bunga utang. Pemerintah akan mengalami cross default seluruh utang negara dan utang swasta," katanya.
Menurut dia, neraca seluruh lembaga keuangan akan memburuk karena harga aset dalam bentuk investasi di saham dan SBN jatuh, sedangkan utang valuta asing meningkat karena melemahnya kurs rupiah.
"Kemampuan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjamin simpanan juga akan berkurang karena sesuai dengan UU tentang LPS seluruh investasi lembaga itu hanya dalam bentuk SBN," kata Rahmat.
Otoritas Jasa Keuangan sendiri mengidentifikasi sejumlah potensi yang dapat menciptakan kerentanan terhadap sektor keuangan, seperti akumulasi utang negara dan peningkatan utang swasta.
"Saat ini ada tren peningkatan primary balance deficit atau beban bunga utang negara harus dibayar dengan utang baru," kata Rahmat Waluyanto.
Mantan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan itu menyebutkan bahwa saat ini jumlah utang luar negeri pemerintah mencapai sekitar 131,66 miliar dolar AS, sementara utang luar negeri swasta sekitar 153,22 miliar dolar AS. Ia juga mengungkapkan pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan utang di pasar modal juga meningkat.
"Jika pada tahun 2009 jumlahnya hanya Rp 979 triliun maka pada tahun 2014 menjadi Rp 1.918 triliun," katanya.
Sementara itu, defisit untuk pembiayaan subsidi mencapai Rp 138 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp403 triliun pada tahun 2014. Sebagian besar untuk subsidi energi.
Menurut Rahmat, tren peningkatan kepemilikan asing di saham dan surat berharga negara juga berpotensi menimbulkan capital outflow atau pelarian modal. Ia mengingatkan kerentanan-kerentanan itu dapat memicu krisis yang berdampak sistemik, terutama pada saat ini ketika kondisi makroekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif.
"Dapat memicu krisis jika pengawasan oleh OJK tidak optimal dan koordinasi dengan otoritas lainnya untuk pencegahan krisis tidak berjalan dengan baik," kata Rahmat.
Ia menyebutkan bahwa sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK maka pihaknya melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terintegrasi meliputi seluruh kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Rahmat menyebutkan ada sejumlah alasan mengapa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, yaitu untuk koordinasi fungsi pengaturan dan pengawasan yang lebih baik karena sumber krisis keuangan yang makin beragam dan neraca lembaga-lembaga keuangan yang saling terkait.
Alasan lain karena adanya fenomena berkembangnya konglomerasi keuangan, struktur produk keuangan campuran, untuk menghindari konflik kepentingan antara pelaksana fungsi pengawasan dan pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal.
"Selain itu, tren pemisahan fungsi pengawasan lembaga keuangan dari otoritas moneter dan fiskal, terutama dengan adanya kebutuhan pengawasan terhadap market conduct atau perlindungan kepada konsumen keuangan sejak 2008," kata Rahmat. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement