Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Waktunya Menguji Kebijakan DPO

Waktunya Menguji Kebijakan DPO Kredit Foto: Unsplash/Tingey Injury Law Firm
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebagai syarat mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) minyak kelapa sawit mentah atawa Crude Palm Oil (CPO) dituding sebagai salah satu penyebab terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng sejak akhir 2021.

Praktisi hukum Hotman Sitorus mengatakan, tuduhan korupsi PE minyak goreng berawal dari aturan pemerintah terkait dengan 20 persen kewajiban DMO, dan ketentuan harga penjualan di dalam negeri (DPO) atas komoditas CPO dan turunannya.

"Aturan tersebut, syarat mutlak bagi para produsen CPO, dan turunannya, untuk mendapatkan PE CPO dan turunannya ke luar negeri," ujarnya dalam keterangannya, Selasa (13/9).

Menurut Hotman, ada kekeliruan dalam memahami kasus ini. Sebab menurutnya, tuduhan korupsi dalam kasus minyak goreng sekarang ini justru melanggar ketentuan pasal 25 dan 54 ayat 2 huruf a,b,e, f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan.

"Karena pasal tersebut sebenarnya mengatur pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang menjadi tugas pemerintah dan pemerintah daerah untuk pengendalian ketersediaan barang di seluruh wilayah NKRI dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau,” tegas Hotman.

Sehingga pemerintah berkewajiban mendorong peningkatan dan melindungi produk barang kebutuhan pokok dan barang penting dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Karena itu, menurutnya di pasal 25 ini tidak serta merta pelaku usaha dapat disalahkan karena pelaku usaha mengikuti ketentuan pemerintah terutama terkait pengurusan persetujuan ekspor.

"Apalagi jika kebijakan Permendag yang salah karena pelaku usaha sudah terikat kontrak dengan pihak importir yang mesti dipenuhi kewajibannya oleh perusahaan dalam negeri,” kata Hotman.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung mengatakan, perubahan kebijakan yang cepat pasti menghambat dan mengurangi daya saing industri kelapa sawit.

"Gonta-ganti kebijakan  DMO dan DPO CPO mirip kebijakan jaman jahiliah, selain berisiko mekanisme ini juga sulit dijalankan,”kata Tungkot.

Tungkot menjelaskan, sebagai  negara produsen sekaligus konsumen terbesar CPO di dunia pemerintah Indonesia bersama berbagai asosiasi sawit pada tahun 2011 telah membuat grand policy industri sawit dengan mekanisme kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK), hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia

"Kombinasi  kebijakan ini bagus sekali untuk mewujudkan kepentingan Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia dan sekaligus juga sebagai konsumen terbesar. Tujuan utamanya, untuk menyeimbangkan ekspor dan kepentingan domestik," kata Tungkot.

Menurut Tungkot, dengan mekanisme ini mudah diterapkan, jika harga CPO di pasar global tinggi tinggal menaikkan PE dan BK agar tidak semua produksi CPO terserap untuk pasar ekspor. Kemudian saat harga rendah, pemerintah tinggal menurunkan PE dengan tujuan meningkatkan serapan dalam negeri.

Hal ini berbeda dengan kebijakan DMO dan DPO, yang sering menimbulkan masalah. Apalagi gonta-ganti kebijakan justru menimbulkan berbagai persoalan. Selain itu, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO akan menimbulkan ketidakpastian berusaha karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya.

Gonta-ganti kebijakan, kata Tungkot, selain menimbulkan ketidakpastian berusaha juga membuat risiko rawan akan pelanggaran.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: