Kredit Foto: Istimewa
Penurunan tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia dari 32% menjadi 19% disambut positif oleh pelaku pasar. Kebijakan tersebut dinilai menjadi katalis bagi sejumlah sektor berorientasi ekspor yang selama ini tertekan beban tarif tinggi.
Pengumuman penurunan tarif disampaikan langsung oleh Presiden AS Donald Trump melalui platform Truth Social. Selain itu, kesepakatan dagang dengan Indonesia juga mencakup pembelian produk pertanian dan energi asal AS senilai hampir US$20 miliar serta komitmen pembelian 50 unit pesawat Boeing.
Analis Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai penurunan tarif akan mendorong kinerja saham-saham eksportir dalam jangka pendek. “Sektor elektronik, tekstil, alas kaki, ban, perikanan, dan furnitur kayu akan menjadi yang paling terdongkrak,” ujarnya, Rabu (16/7/2025).
Baca Juga: Tarif AS Jadi 19%, Ini Sektor Ekspor RI yang Diuntungkan
Senada, analis pasar modal Lanjar Nafi menyebut bahwa sentimen positif ini akan memicu aksi beli dari investor lokal dan asing. “Ini memperbesar peluang peningkatan margin dan pendapatan. Saham-saham yang sebelumnya undervaluedkarena beban tarif tinggi kini berpeluang re-rating,” katanya.
Ia menambahkan, revaluasi harga saham eksportir bisa berlanjut jika pelaku pasar menilai prospek laba emiten akan meningkat secara struktural. Namun, ia mengingatkan risiko likuiditas pada saham-saham tekstil dan menyarankan investor memilih emiten dengan tata kelola baik dan rekam jejak ekspor kuat.
Baca Juga: Nikel RI Bebas Diekspor, Pemerintah Tegaskan Tak Ada Standar Tambahan
Di sisi lain, komitmen pembelian pesawat Boeing disebut menjadi peluang bagi sektor penerbangan nasional. Maskapai seperti Garuda Indonesia diproyeksi mendapat manfaat dalam modernisasi armada dan peningkatan daya saing global.
Namun, besarnya nilai impor dari AS menimbulkan kekhawatiran terhadap tekanan neraca perdagangan dan nilai tukar rupiah. “Lonjakan impor bisa berdampak pada trade balance dan permintaan dolar AS, sehingga menekan rupiah dalam jangka pendek,” ujar Lanjar.
Meski demikian, Nafan menilai risiko dapat diminimalkan dengan diplomasi ekonomi aktif melalui BRICS, OECD, dan CPTPP. “Indonesia harus mendorong perluasan akses ekspor, tidak hanya menjadi pasar konsumsi,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement