Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Presiden RI Joko Widodo mengakui terpilihnya Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat (AS) memang melemahkan semua mata uang terhadap dolar AS. Meski begitu rupiah relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan mata uang negara lainnya.
"Ini yang dilihat saat kampanye kebijakan Donald Trump untuk AS first, sama dengan dolar nanti akan jalan sendiri. Artinya amerika nanti relatif tidak peduli dengan konsekuensi aksinya terhadap negara lain. Ini yang saya tangkap dan kelihatannya Trump akan menerapkan kebijakan ekonomi reflasi. Dan kurs dolar semakin mencerminkan antisipasi pasar bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan menguat lagi dan inflasi dolar akan melonjak," ujar Jokowi pada acara Sara Sehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Oleh karena itu, lanjut Jokowi, kurs dolar semakin tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia tapi lebih mencerminkan ekonomi AS yang jalan sendiri. "Ini kita selalu arahnya kesitu terus, padahal bukan cerminan fundamental ekonomi kita," sebutnya.
Makanya Jokowi berharap masyarakat jangan hanya berpatokan pada nilai tukar Rupiah-Dolar AS, karena ekspor Indonesia sendiri ke AS masih di bawah 10% dari total ekspor Indonesia.
"Jadi jangan sampai angka 10-11% ini menjadi mendominasi persepsi ekonomi karena dolar dan rupiah tadi. Kalau ukur ekonomi Indonesia pakai dolar, nantinya ya kita akan kelihatan jelek. Padahal negara lain juga alami hal sama. Ekonomi kita ok-ok saja tapi ini sekali lagi, persepsi," paparnya.
Jokowi menyebutkan, bila ekonomi Indonesia kita pakai Euro, Yuan (Renminbi), Korean Won, Poundsterling tentu akan berbeda. Disitu mungkin ekonomi Indonesia akan kelihatan jauh lebih bagus.
"Tapi kita bertahun selalu melihat dolar dan rupiah. menurut saya kurs rupiah dan dolar bukan lagi tolak ukur yang tepat," jelas Jokowi.
Seharusnya, tolak ukur yang tepat dan relevan adalah kurs rupiah melawan mitra dagang terbesar Indonesia dimana Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.
"Karena Amerika hanya 9-10% dari total perdagangan kita. kalau Tiongkok malah angka yang ada di saya 15,5%. Eropa 11,4%, Jepang 10,7%. Jadi ini penting untuk edukasi publik, untuk tidak hanya memantau kurs pada dolar semata tapi yang lebih komprehensif," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: