Naiknya tarif ojek online (ojol) berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) nomor 348 tahun 2019 ditolak oleh 75% konsumen secara nasional. Hal itu berkaitan dengan kesediaan mereka dalam membayar biaya tambahan akibat kenaikan tarif tersebut.
Data itu berasal dari survei bertajuk "Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia" milik lembaga Research Institute of Socio-Economic Development (RISED).
Ketua Tim Peneliti RISED, Rumayya Batubara menjelaskan, tarif baru yang diatur pemerintah per 1 Mei 2019 tidak mencerminkan tarif yang akan dibayarkan oleh konsumen.
"Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub nomor 348/2019 itu tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi, mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi," jelas Rumayya.
Adapun besaran maksimal biaya sewa aplikasi tersebut adalah 20% dari harga sesuai Kepmenhub. Contohnya, tarif dasar di Jakarta (zona II) menurut regulasi berada di kisaran Rp2.000-Rp2.500. Karena biaya sewa sistem aplikasi, maka angka yang harus dibayarkan konsumen meningkat menjadi Rp2.500-Rp3.125.
Rumayya menambahkan, "Begitu juga dengan tarif minimumnya, Rp8 ribu-Rp10 ribu yang tertera di aturan, tapi yang di konsumen Rp10 ribu-Rp12,5 ribu untuk zona II."
?Baca Juga: Wajib Lindungi Pengguna, Begini Langkah Go-Jek dan Grab Patuhi Aturan Ojek Online
Lebih lanjut, kenaikan tarif juga memengaruhi pengeluaran konsumen setiap harinya. Berdasarkan data RISED, masing-masing konsumen ojol menempuh jarak sebagai berikut: 7-10 km/hari di zona I (Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera); 8-11 km/hari di zona ll (Jabodetabek), dan 6-9 km/hari di zona III (wilayah sisanya).
Dengan skema tarif baru berdasarkan Kepmenhub 348/2019 serta jarak tempuh seperti itu, maka pengeluaran konsumen akan bertambah sekitar Rp4.000-11.000/hari di zona I. Rp6.000-15.000/hari di zona II dan Rp5.000-12.000/hari di zona III.
"Bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh 4 km ke bawah. Jangan lupa tarif minimum juga mengalami peningkatan," jelas Rumayya.
Peningkatan pengeluaran di kisaran angka tersebut ditolak oleh 47,6% kelompok konsumen yang hanya bersedia mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojol maksimal Rp4.000-5.000/hari. Ditambah lagi, ada sekitar 27,4% kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.
"Total persentase kedua kelompok tersebut mencapai 75% secara nasional. Jika diklasifikasikan berdasarkan zona, maka besarannya adalah 67% di zona I, 82% di zona II, dan 66% di zona III," imbuh Rumayya.
Sebagai tambahan, rata-rata kesediaan konsumen non-Jabodetabek untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan adalah Rp4.900/hari. Jumlah itu lebih kecil 6% dibandingkan rata-rata kesediaan konsumen di Jabodetabek yang mencapai Rp5.200/hari.
"Oleh karena itu, [emerintah perlu berhati-hati dalam mengklasifikasikan tarif berdasarkan zona. Daya beli konsumen di wilayah non-Jabodetabek yang lebih rendah tentu harus dimasukkan ke dalam perhitungan pemerintah," tegas Rumayya.
Terbatasnya kesediaan membayar konsumen didorong oleh 75,2% konsumen yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Yang mana menurut ekonom itu, naiknya tarif menjadi hal sensitif bagi para konsumen tersebut.
Sang ekonom memaparkan, "Sebagai bukti, sebanyak 52,4% konsumen memilih faktor keterjangkauan tarif sebagai alasan utama. Jauh mengungguli alasan lainnya seperti fleksibilitas waktu, metode pembayaran, layanan door-to-door, dan keamanan. Oleh karena itu, perubahan tarif bisa sangat sensitif terhadap keputusan konsumen."
Baca Juga: Tarif Ojek Online Indonesia Tergolong Murah di ASEAN
Adapun survei RISED diikuti oleh 3.000 konsumen pengguna ojol yang tersebar di sembilan wilayah di Indonesia yang mewakili ketiga zona yang diatur dalam Kepmenhub tersebut, yakni Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang.
Waktu penelitian dimulai dari 29 April hingga 3 Mei 2019, sedangkan nilai margin of error survei berada di kisaran 1,83%. Hadir dalam peluncuran hasil survei yaitu Ketua Tim Peneliti Rumayya Batubara (Ekonom Universitas Airlangga) dan Fithra Faisal (Ekonom Universitas Indonesia) sebagai narasumber sekaligus penanggap hasil riset.
Dalam Keputusan Menteri nomor 348 tahun 2019 sendiri, ada tiga wilayah dengan tarif dasar dan tarif minum yang berbeda, yakni zona I (Jawa di luar Jabodetabek, Bali, dan Sumatera), zona II (Jabodetabek), dan zona III (Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: