Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Rupanya Virus Corona di Beijing Hasil Mutasi Terbaru, Pakar Kesehatan AS Ngaku Bahayanya...

        Rupanya Virus Corona di Beijing Hasil Mutasi Terbaru, Pakar Kesehatan AS Ngaku Bahayanya... Kredit Foto: Reuters/Hannah A Bullock and Azaibi Tamin
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Virus corona SARS-Cov-2 yang menyebar di Beijing baru-baru ini diduga varian baru hasil mutasi. Virusnya sedikit berbeda dari virus awal yang menyebar di Wuhan. Demikian Zeng Guang, pakar epidemiologi dari Komisi Kesehatan Nasional China seperti dikutip Global Times.

        Klaster virus corona terbaru adalah pasar bahan makanan Xifandi di Beijing. Di pasar ini dilakukan pengolahan ikan salmon impor. Dari mana salmon berasal, sejauh ini belum jelas. China mengimpor ikan salmon dari sejumlah negara, antara lain Norwegia, Chile, Australia, Kanada, dan Kepulauan Faroe.

        Baca Juga: Wabah Corona Baru di Beijing Bikin Ngeri, 5 Hari Sudah 106 Kasus

        Pemerintah di Beijing dengan cepat menutup pasar Xifandi, dan beberapa blok pemukiman di selatan ibu kota China itu. Sekitar 10.000 pedagang dan pekerja di pasar tersebut kini akan dites secepatnya untuk melacak infeksi SARS-Cov-2.

        “Hasil pelacakan akan dibandingkan dengan analisa dari negara lain, untuk bisa melacak garis asal-usul virus corona bersangkutan,“ ujar pejabat kesehatan di Beijing

        Apakah mutasi virus berbahaya?

        Virus lazimnya selalu melakukan mutasi. Karena untuk berkembang biak, virus harus mencari sel inang, dan terus menerus melakukan adaptasi dengan cara melakukan mutasi.

        Ini tidak berarti virusnya akan makin berbahaya atau sebaliknya. Yang lebih penting adalah terus memonitor jalur evolusi mutasinya agar bisa mengembangkan vaksin corona atau obatnya, ujar para ilmuwan

        Virus corona yang kini kembali menyerang China baru-baru ini, juga menunjukkan melakukan mutasi, dengan gejala lebih lambat dibanding gejala yang dipicu virus asal dari Wuhan. Jadi, tidak ada alasan panik di China. Sejumlah mutasi virus terbukti dapat melemahkan serangannya dan tidak lagi mematikan.

        Christian Drosten, pakar virologi Jerman dari rumah sakit Charité di Berlin dalam podcast-nya untuk stasiun penyiaran NDR juga melihat mutasi virus itu secara positif.

        “Karena dengan begitu virus bisa melakukan reproduksi lebih baik di ruang hidung,“ ujarnya.

        Jika mutasi virus terutama menyerang bagian hidung, virus akan bisa berkembang biak lebih bagus dan akan membuat epidemi virus corona menjadi lebih ringan.

        “Virusnya tetap bisa menyerang selaput lendir di paru-paru, tapi efeknya orang hanya merasakan seperti flu biasa saja,“ ujar pakar virologi Jerman itu.

        Lewat mutasi, virus corona juga bisa makin lemah dan menghilang. Misalnya virus corona SARS yang mewabah tahun 2002 dan menghilang tahun 2004. Walau begitu SARS-Cov-2, harus tetap diwaspadai, karena tidak ada yang tahu pasti, berapa lama waktu yang diperlukan untuk prosesnya hingga virusnya jadi jinak.

        Mutasi Corona tingkatkan kemampuan infeksi

        Sementara, hasil riset terbaru Scripps Research lembaga riset biomedik dan biokimia kenamaan AS yang dirilis belum lama ini menunjukkan, adanya mutasi yang meningkatkan secara signifikan kemampuan virus corona jenis baru itu untuk menginfeksi sel inang.

        Hasil penelitian ini bisa menjelaskan, mengapa virus SARS Cov-2 di beberapa bagian dunia menginfeksi sangat banyak pasien dan membuat ambruknya sistem kesehatan. Virus yang diduga mengalami mutasi yang menyerang Italia, Spanyol, dan AS khususnya New York terbukti menyebar dengan cepat dalam skala besar.

        Mutasi yang diberi nama D614G, meningkatkan jumlah “duri“ pada virus corona SARS Cov-2 yang membuat kenampakannya khas bagai bola penuh duri. Duri-duri inilah yang membuat virusnya memiliki kemampuan mengikat dan menginfeksi sel inang.

        “Jumlah atau densitas dari duri fungsional pada virus corona, menjadi empat sampai lima kali lebih banyak akibat mutasi,“ kata Hyeryun Choe, salah satu peneliti dan penulis senior riset tersebut.

        Para peneliti menyebutkan, sejauh ini belum jelas, apakah mutasi tersebut berdampak pada makin parahnya gejala pada orang yang terinfeksi atau meningkatkan kasus kematian. Disebutkan, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut termasuk uji coba laboratorium.

        Riset dari Scripps itu saat ini sedang menjalani peer review, yakni kajian independen dari pakar dalam bidang ilmunya, untuk menjamin kualitas dan kredibilitas riset.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: