Sudah sepekan berlalu sejak Prabowo Subianto dilantik menjadi presiden Republik Indonesia ke-8. Beberapa langkah dan gebrakan awal yang ia lakukan telah banyak menuai apreseasi publik.
Sebut saja beberapa diantaranya seperti mengumumkan susunan kabinetnya dihari yang sama saat ia dilantik menjadi presiden, memberikan pembekalan selama 3 hari di Lembah Tidar dengan judul “Magelang Retreat”, mewajibkan menteri dan wakil menteri untuk memakai mobil dinas produksi dalam negeri “Maung garuda” yang dibesut oleh Pindad, mengingatkan menteri dari parpol untuk tidak mencuri uang APBN, serta berkomitmen langsung tancap gas bekerja setelah pembekalan di Hambalang dan Magelang selesai.
Langkah-langkah Prabowo Subianto ini seolah ingin menjawab tingkat kepecayaan dan ekspektasi publik yang sangat besar terhadap pemerintahannya, sebagaimana tercermin dalam survei Indikator politik yang menyatakan bahwa 85,3% masyarakat Indonesia yakin bahwa putra Soemitro Djojohadikoesoemo ini akan bisa membawa nusantara bergerak kearah yang lebih baik.
Namun ditengah tingginya kepercayaan publik terhadap Prabowo Subianto dan langkah awal yang sudah sangat baik dalam memulai roda pemerintahannya ini, ternyata masih ada saja yang mencoba keras dengan berbagai cara untuk menggoyang dan mengoyak jalannya roda pemerintahan Prabowo. Kritik terus diluncurkan, meski terkadang kritik yang dilakukan berpangkal dari sesuatu yang diada-adakan.
Sebut saja kritik terkait kegiatan “Magelang Retreat” terhadap kabinet Merah Putih yang dipandang sebagai upaya pengembalian pemerintahan yang militeristik seperti era Soeharto.
Padahal, sebagaimana telah diungkapkan oleh Prabowo Subianto sendiri, “Magelang Retreat” adalah upaya yang coba dilakukan untuk mengadopsi cara militer “militer way” dalam sistem pengorganisasian pemerintahan, bukan untuk menjadikan pemerintahan militeristik.
Cara ini sudah banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan dunia dan terbukti sangat efektif. Sebagaimana diketahui, pengorganisasian cara militer adalah model yang diakui menjadi yang terapi, terbaik dan dan termodern di dunia.
Bahkan saking ingin mencari-cari kesalahan Prabowo Subianto, para kritikus ini bahkan mempersoalkan hal-hal yang tidak substansial. Sebut saja salah satu contohnya seperti yang dilakukan oleh Refly Harun.
Dalam salah satu monolog dichannel youtubenya, refly mempersoalkan hadirnya Ketua Tim Gugus Tugas Singkronisasi Prabowo-Gibran, Sufmi Dasco Ahmad, ketika mendampingi Prabowo Subianto saat mengumumkan susunan kabinetnya.
Dalam pandangan Refly, tidak boleh Sufmi Dasco hadir mendampingi Prabowo Subianto dalam mengumumkan kabinet karena ia pandang bukan bagian resmi dari pemerintahan.
Kritik Refly ini, menurut saya, sangat tidak substansial. Argumentasinya juga cukup mengada-ada. Semua orang tahu bahwa Sufmi Dasco Ahmad merupakan Ketua Tim Gugus Tugas Singkronisasi Prabowo-Gibran, yang salah satu fungsi utamanya adalah membantu Prabowo Subianto dalam menyusun kabinet.
Memang, masa bakti Tim Gugus Tugas Singkronisasi Prabowo-Gibran berakhir saat Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden.
Namun karena salah satu fungsi utama tim ini adalah turut menyusun kabinet Prabowo-Gibran, ketika kemudian Prabowo Subianto meminta Sufmi Dasco Ahmad untuk mendampingi pada saat mengumumkan kabinet, tentu hal ini sangat wajar. Karena ketika Prabowo membutuhkan informasi secara cepat, dengan segera Sufmi Dasco bisa memberikannya.
Kita semua memang tahu, bahwa Refly Harun ini adalah salah satu sosok yang ketika Pilpres yang lalu, berada dikubu Anies Baswedan.
Dan kita juga tahu, bahwa Anies harus kalah dalam persaingan kontestasi. Jika kemudian Refly memberikan kritik, sangat bisa dipahami karena memang berada disisi seberang Prabowo Subianto.
Meski demikian, dengan background intelektual mapan yang dimiliki oleh refly, rasanya cukup tidak elok jika kemudian kritik yang diarahkan hanya “yang penting kritik” tanpa dibarengi dengan substansi yang memadai.
Dalam konteks demokrasi, sejatinya kritik seperti yang dilakukan oleh Refly harun ini adalah vitamin. Dengan catatan, jika kritik diarahkan pada hal-hal yang substansial.
Akan tetapi yang perlu digarisbawahi, jika kritik dilakukan dengan dasar ketidaksukaan atau bahkan kebencian dan didasari semangat yang penting beda, tentu akan berimplikasi terhadap lemahnya substansi kritik dan dalil argumentasi yang tidak kuat serta tidak rasional. Yang pada ujungnya, kritik hanya akan bersifat trivial (bernilai nol/receh). Selain itu, kritik semacan ini bisa dikategorikan sebagai julid semata.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: