- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Pakar: Ketidaksinkronan Regulasi Hambat Target Energi Terbarukan Indonesia
Kredit Foto: Istimewa
Setahun sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada tantangan besar untuk mewujudkan ambisinya menjadikan Indonesia sebagai “raja energi hijau dunia” dengan mencapai 100% energi terbarukan pada 2035. Para pakar menilai, konsistensi regulasi dan transparansi pengadaan energi menjadi faktor kunci agar target tersebut tidak berhenti di tataran wacana.
Policy and Program Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, menilai kebijakan ketenagalistrikan menjadi aspek vital dalam mempercepat transisi energi. Menurutnya, komitmen publik Presiden Prabowo perlu dituangkan dalam dokumen resmi kebijakan energi nasional secara konsisten agar menjadi landasan perencanaan dan sinyal kuat bagi investor.
“Indonesia memiliki modal untuk bisa mempercepat proses transisi energi. Namun, lagi-lagi political will yang kuat harus diterjemahkan dalam kebijakan yang riil agar wacana dapat tereksekusi. Oleh karenanya, pemerintah perlu merevisi agar kebijakan-kebijakan yang ada menjadi selaras. Selain itu pemerintah harus memperkuat peta jalan dekarbonisasi yang sudah ada,” kata Wicaksono dalam CERAH Expert Panel “Menakar Konsistensi Kebijakan Transisi Energi Presiden Prabowo: Bagaimana Indonesia Bisa Capai 100% Energi Terbarukan?”dikutip Sabtu (18/10/2025).
Baca Juga: RUPTL PLN Butuh 42 GW EBT, Dirjen EBTKE Dorong Bank Mandiri Jadi Motor Investasi
Wicaksono menjelaskan, ketidaksinkronan kebijakan menjadi salah satu hambatan utama. Terdapat perbedaan target bauran energi terbarukan dalam dokumen perencanaan ketenagalistrikan: Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan 19%–23% pada 2030, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 29,4%, dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 sebesar 34,3%.
Selain itu, dokumen perencanaan masih melanjutkan ketergantungan pada energi fosil melalui teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan co-firing biomassa pada PLTU. Menurutnya, hal tersebut berpotensi memperpanjang usia PLTU dan menghambat masuknya pembangkit energi terbarukan.
Research & Engagement Lead Indonesia Energy Transition IEEFA, Mutya Yustika, menegaskan bahwa pensiun dini PLTU merupakan syarat mutlak untuk mencapai 100% energi terbarukan. Kapasitas PLTU dinilai sudah berlebih dan kini beroperasi di bawah batas minimal yang diatur dalam perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PT PLN (Persero).
Baca Juga: Persoalan Polusi Udara Kian Kompleks, PLTU Kerap Jadi Kambing Hitam
“PLN harus mempercepat transisi dari energi berbasis bahan bakar fosil termasuk PLTU untuk menghindari volatilitas harga. Pensiun PLTU juga dapat membantu Indonesia untuk mengurangi beban ekonomi dan lingkungan di masa depan, mengingat beban subsidi listrik cenderung terus meningkat,” ujar Mutya.
Ia menambahkan, biaya pengadaan batu bara dan perawatan PLTU terus naik sejak 2020. PLN kini membayar US$4–5 sen per kilowatt hour (kWh) untuk batu bara, meningkat hampir 40% dibanding 2020.
Mutya menilai, Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan dapat menjadi modal penting untuk transisi menuju energi bersih. Namun, regulasi tersebut masih perlu diperbaiki karena belum memuat peta jalan pensiun PLTU, daftar kelayakan aset, dan progres eksekusi yang jelas.
Sementara itu, Dody Setiawan, Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia EMBER, menilai pemerintah juga perlu memperbaiki proses pengadaan proyek energi terbarukan agar pembangunan tidak terhambat.
Baca Juga: WRI Indonesia Serukan Transisi Ekonomi Rendah Karbon yang Adil untuk Alam, Iklim, dan Manusia
“Walaupun mekanisme tender atau pemilikan langsung telah diatur paling lama 180 hari, dari penawaran hingga proses jual beli listrik (PJBL), namun kenyataannya banyak yang melewati 180 hari dan tidak ada konsekuensinya,” ujar Dody.
Ia menekankan, efisiensi pengadaan menjadi krusial mengingat Indonesia membutuhkan tambahan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan tenaga bayu (PLTB) dengan kapasitas rata-rata 868 megawatt (MW) per tahun dalam lima tahun ke depan. Pemerintah memperkirakan potensi investasi sektor energi terbarukan pada 2025–2035 mencapai Rp1.566,1 triliun, seiring mulai bergesernya perusahaan batu bara ke bisnis energi hijau.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo