Nilai tukar rupiah semakin mendapatkan tekanan hebat dari dolar AS, bahkan menurut data dari Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI), rupiah tadi pagi (26/4/2018) berada pada Rp13.930 per dolar AS. Nilai tukar ini bergerak jauh dari fundamental ekonomi.
Menanggapi hal itu, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, pihaknya telah melakukan langkah-langkah stabilisasi baik di pasar valas maupun pasar SBN (dual intervention) untuk meminimalkan depresiasi yang terlalu cepat dan berlebihan.
Bahkan, ke depan BI akan menempuh empat langkah untuk memperkuat upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya dengan tetap mendorong mekanisme pasar.
"Pertama, BI senantiasa berada di pasar untuk memastikan tersedianya likuiditas dalam jumlah yang memadai, baik valas maupun rupiah. Kedua, memantau dengan saksama perkembangan perekonomian global dan dampaknya terhadap perekonomian domestik," ujar Agus di Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Berikutnya, langkah ketiga adalah mempersiapkan 2nd line of defense bersama dengan institusi eksternal terkait. Lalu langkah terakhir apabila tekanan terhadap nilai tukar terus berlanjut, BI tidak menutup ruang bagi penyesuaian suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan BI 7 Days Reverse Repo Rate.
"Kebijakan ini tentunya akan dilakukan secara berhati-hati, terukur, dan bersifat data dependence, mengacu pada perkembangan data terkini maupun perkiraan ke depan. Sekali lagi kebijakan ini diambil jika berpotensi menghambat pencapaian sasaran inflasi dan menganggu stabilitas sistem keuangan yang merupakan mandat Bank Indonesia," tutur Agus.
Agus menuturkan, depresiasi rupiah yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh penguatan mata uang AS (USD) terhadap hampir semua mata uang dunia (broad based). Penguatan USD ini adalah dampak dari berlanjutnya kenaikan yield UST (suku bunga obligasi negara AS) hingga mencapai 3,03% (tertinggi sejak 2013).
"Selain itu, depresiasi rupiah juga terkait faktor musiman permintan valas yang meningkat pada triwulan II antara lain untuk keperluan pembayaran ULN dan pembiayaan impor dan dividen," ungkapnya.
Secara fundamental, kata Agus, ekonomi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang kuat. Inflasi masih sesuai dengan kisaran 3,5+1%, defisit transaksi berjalan lebih rendah dari batas aman 3% PDB, momentum pertumbuhan ekonomi berlanjut diikuti oleh struktur pertumbuhan yang lebih baik, dan stabilitas sistem keuangan yang tetap kuat.
"Kepercayaan asing juga terus membaik yang tercermin pada upgrade rating Indonesia oleh Moody’s, JCRA, dan R&I serta dimasukkannya obligasi negara ke dalam Bloomberg Global Bond Index," paparnya.
Dirinya mengatakan, sejak 1 April 2018 sampai dengan Kamis (26/4/2018), rupiah telah terdepresiasi sebesar 0,88% (mtd). Depresiasi rupiah ini masih lebih rendah dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara Asia lain termasuk Thailand THB (-1,12%), Malaysia MYR (-1,24%), Singapore SGD (-1,17%), Korea Selatan KRW (-1,38%), dan India INR (-2,4%).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fauziah Nurul Hidayah