Sekitar 90 persen startup berakhir gagal, dan hanya 1 persen yang berkembang jadi unicorn. Namun, banyak kegagalan yang juga bisa menjadi cerita untuk kamu jadikan pelajaran agar tidak terjadi pada bisnis startupmu.
CB Insights, sperti dilansir dari Techinasia.com, secara rutin mencari laporan post-mortem atau pernyataan “pascakematian” yang biasa dirilis startup ketika tutup. Mereka kemudian meneliti fenomena berulang dalam laporan-laporan tersebut untuk mencari alasan yang paling sering membuat startup gagal. Hingga Februari 2018, lima alasan yang paling sering ditemui adalah:
1. Tidak ada kebutuhan pasar
Menurut 42 persen laporan yang ditinjau CB Insights, para founder startup merasa gagal karena solusi mereka tidak dibutuhkan oleh pasar yang dituju. Dengan kata lain, masalah yang ingin mereka pecahkan tidak cukup mendesak.
Salah satu contoh kasus adalah startup layanan kurir Shyp yang diluncurkan pada 2014. Awalnya, target utama Shyp adalah menjual kemudahan pengiriman barang seperti, pengemasan dan penjemputan, melalui kurir keliling pada konsumen dan masyarakat umum. Meski awalnya pertumbuhan mereka cukup positif, lama-kelamaan pesanan mulai berkurang.
Akhirnya, Shyp menyadari bahwa pasar yang menjadi target tidak terlalu membutuhkan solusi mereka, sehingga kemudian diputuskan mengganti target pasar utama menjadi pengusaha kecil dan bisnis online. Meski sempat tumbuh dengan menjanjikan, perubahan strategi ini tak berhasil mengubah nasib perusahaan. Shyp terpaksa tutup pada Maret 2018.
2. Kehabisan dana
Alasan berikutnya relatif lebih simpel. Banyak startup gagal karena kehabisan modal sebelum mendapatkan profit atau dana tambahan. Masalah membelanjakan uang masih menjadi teka-teki bagi 29 persen startup yang merasa itu menjadi alasan kegagalan masing-masing.
Ada banyak kasus nyata mengenai fenomena ini, namun salah satu contoh yang disinggung oleh CB Insights adalah OSSIC. Didirikan tahun 2014, startup gawai audio ini berhasil mengumpulkan pendanaan US$5,9 juta (sekitar Rp73 miliar) melalui crowdfunding dan angel investor. Dana tersebut antara lain dialokasikan untuk pengembangan produk flagship mereka, headphone OSSIC X.
OSSIC X adalah produk yang ambisius dan mahal untuk dikembangkan. Namun, produk ini masih membutuhkan banyak modal tambahan untuk diproduksi secara massal, dan perusahaan sudah kehabisan uang.
Penelitian dan pengembangan produk ini memakan waktu dan sumber daya yang cukup banyak. OSSIC membentuk tim pengembang beranggotakan dua puluh orang untuk membangun software dan hardware baru dari nol. Pada akhirnya, mereka hanya bisa memproduksi 250 unit pilot production untuk dikirim ke para donatur awal sebelum kehabisan modal.
Fenomena “bakar duit” tidak asing di industri startup. Perusahaan yang merugi terlebih dahulu selama proses pertumbuhan sudah lumrah.
Tetapi, pastikan ambisi kamu realistis dengan kondisi keuangan kamu. Tidak ada gunanya membuat produk sempurna atau merekrut tim ahli jika kamu kehabisan uang ketika harus mulai berjualan.
Baca Juga: Jalan 4 Tahun, Startup Qlapa Akhirnya Memilih Tutup
3. Tidak menyusun tim yang tepat
Memiliki tim dengan latar belakang dan keterampilan yang beragam sering dianggap vital demi kesuksesan sebuah perusahaan. Namun, 23 persen startup yang ditinjau CB Insights merasa gagal dalam aspek ini. Banyak startup yang merasa tidak berhasil karena, misalnya, tidak merekrut CTO sejak awal atau tidak memiliki founder yang ahli dalam aspek bisnis.
Contohnya Shoes.com, perusahaan e-commerce fesyen asal Kanada yang bangkrut pada 2017. Konsultan retail seperti Doug Stephens dan David Ian Gray menyimpulkan bahwa perusahaan ini dirugikan oleh jajaran manajemen yang kurang beragam. Sebagian besar tim eksekutif Shoes.com memiliki latar belakang teknologi tanpa pengalaman fesyen atau ritel.
Kurangnya pengalaman para petinggi dalam mengelola perusahaan fesyen turut menyebabkan berbagai kendala operasional, seperti maraknya kesalahan dan keterlambatan pesanan. Reputasi Shoes.com juga diperburuk oleh divisi layanan pelanggan yang kurang responsif dalam menangani keluhan tersebut.
Sebuah tim, terutama tim manajerial, harus menjadi entitas yang lengkap. Perusahaan yang baik harus siap menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang berbeda, sehingga membutuhkan anggota tim dari latar belakang yang beragam.
4. Sulit berkompetisi
Meski “jangan terlalu fokus pada kompetitor” sudah menjadi semacam “mantra” bagi dunia startup saat ini, 19 persen startup gagal karena kurang mempertimbangkan kompetitor. Faktanya, jika sebuah ide atau pasar sudah terbukti potensinya, kamu harus siap menemui banyak pesaing.
Platform video Vidme didirikan pada tahun 2014 ketika YouTube masih menjadi tujuan utama bagi kreator konten. Vidme menyatakan ingin menyajikan platform yang lebih berorientasi pada komunitas dan mengakomodasi kreator dengan audiens kecil. Mereka mengklaim sempat menampung hampir 1 juta kreator konten dan lebih dari 25 juta pengguna per bulan.
Menurut Warren Shaeffer, co-founder Vidme, mereka berhasil menarik banyak kreator dengan audiens besar di Facebook dan YouTube. Namun, mereka mengalami kesulitan dalam menarik penonton untuk bertransisi dari kedua kompetitor tersebut. Faktor seperti kurangnya audiens membuat partisipasi kreator tidak bertahan lama; ditambah dengan berbagai faktor lain, Vidme akhirnya tutup pada akhir 2017.
Kompetitor memang tidak seharusnya jadi prioritas utama, tetapi dampak pesaing terhadap bisnis kamu juga tak bisa dipungkiri. Pastikan kamu tahu apa yang membedakan kamu dengan para kompetitor, dan bahwa faktor pembeda tersebut sudah cukup untuk menarik pelanggan.
5. Masalah harga atau biaya
Perusahaan yang baik harus bisa mematok harga produk yang cukup tinggi untuk menutup biaya sekaligus cukup rendah untuk menarik pelanggan. Namun, banyak startup masih mengalami kesulitan; 18 persen startup gagal karena sulit menyeimbangkan harga dengan biaya.
Satu contoh kasus yang bisa diambil adalah Doorman, startup pengiriman barang yang berdiri pada 2013. Doorman mengunggulkan fitur penjadwalan pengantaran, sehingga para pelanggan tidak perlu takut barang akan sampai ketika mereka tidak di rumah.
Mereka juga menyediakan opsi transaksi tak terbatas berbasis pembayaran bulanan. Berbeda dengan banyak layanan kurir lainnya yang menerapkan pembayaran per transaksi.
“Pelanggan Doorman berbelanja online 2 kali lipat lebih banyak dalam 6 bulan setelah mendaftar. Sayangnya, ini berarti skema pembayaran US $19 dan US $29 per bulan kami tidak masuk akal lagi, dan secara kasar kami merugi karena sejumlah pelanggan kami,” ungkap CEO Doorman Zander Adell.
Lama-kelamaan jumlah transaksi para pelanggan mulai melebihi estimasi Doorman ketika mematok harga paket bulanannya. Mereka mulai merugi, karena biaya pengantaran barang melebihi harga yang dibayarkan pelanggan. Startup ini akhirnya memutuskan menaikkan harga, namun kebijakan tersebut datang terlambat hingga Doorman tutup pada 2017.
Menentukan harga yang tepat terkadang sulit, terlebih lagi jika kamu memiliki produk atau model bisnis baru dan tidak memiliki banyak referensi. Pertimbangan utama yang harus kamu ambil tentunya ongkos produksi, tetapi kamu harus pertimbangkan faktor lain seperti:
Apakah harga produk kompetitor lebih murah atau mahal dibanding produkmu? Mengapa?
Bagaimana metode penjualan kamu; grosir atau eceran?
Apakah konsumen kamu cukup mengenal produk tersebut sehingga rela membayar mahal?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ning Rahayu
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: