Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menjaga Keseimbangan Hidup dan Kerja Ala CEO Qasir

Menjaga Keseimbangan Hidup dan Kerja Ala CEO Qasir Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menahkodai sebuah perusahaan memang sebuah tanggung jawab yang tidak mudah. Terlebih pada masa awal perusahaan berdiri. Tak sedikit waktu untuk kehidupan pribadi yang dikorbankan demi mengayomi perusahaan.

Menjadi nahkoda Qasir, perusahaan yang bergerak pada points of sales atau kasir, tak urung menyita banyak waktu Michael untuk menimang Qasir yang masih belia. Namun, posisi yang diemban pria yang kerap disapa Mike tersebut tak menghalanginya melakukan apa yang disukainya.

Berikut wawancara Warta Ekonomi dengan CEO Qasir Michael Johan Williem

Tatonya bagus pak, ada hobi tato?

Hobi enggak sih, kalau tato ini buat ngingetin saya untuk momen-momen. Artinya, setiap tato ada momennya. Kebanyakan buat ngingetin saya, pernah di mana saya dulu.

Kalau itu artinya apa pak?

Kalau ini kan Isa ya, Yesus, dia kan sedang berdoa di Getsemani, dia kan bilang maunya dia apa, tapi dia berkata Tuhan berkata lain, maka terjadilah. Saya melihatnya, berserah pada Yang Kuasa penting banget. Karena by the end of the day, kadang-kadang kita lupa berterima kasih, kita sering minta kalau berdoa. Apa yang terjadi, ya terjadilah. Ini membantu ingatkan saya, kalau lagi susah, kalau lagi senang, ya apa yang terjadi, ya terjadilah.

Ada tato lagi enggak pak?

Ada, muka anak saya di sini, buat ingetin. Ini dulu, masa tumbuh, serem kalau tumbuh. Saya senang art (seni) sih dari kecil, tapi kalau hobi saya senang masak dari dulu. Istri saya yang ngajarin saya masak.

Saya punya warung juga. Karena Qasir ini kan beda sama aplikasi lain. Kalau aplikasi lain kan kita bisa nyoba sendiri sebagai user. Kalau Qasir kita usaha jadi user. Jadi, akhirnya buka usaha warung, orangtua saya sudah pensiun, jadi mereka yang ngurusin. Ya, saya belajar user experience dari situ.

CEO kan biasanya sibuk, ada hobi atau kebiasaan yang dikorbankan?

Saya enggak ngerasa gitu, tapi saya juga enggak punya hobi yang makan waktu. Kalau masak ya sebisanya, kalau art ya sebisanya. Saya enggak cuma pelaku, tapi penikmat juga. Jadi, kalau karya seni kan enggak harus dilakukan, tapi karya seni bisa dinikmati.

Saya bisa dengerin lagu bagus kapan aja. Saya bisa lihat desain bagus di mana aja. Tapi kalau masak, saya cuma bisa masak kalau weekend (akhir pekan) aja. Masak buat keluarga. Saya suka ngulik resep baru. Kalau sebulan, dulu bisa ngulik resep baru berapa kali, sekarang sebulan paling ngulik resep sekali dua kali. Karena butuh waktu kan buat riset mau bikin apa, nyoba pakai bumbu apa. Butuh waktu.

Tato sendiri jadi kendala enggak untuk misal bertemu klien penting atau klien yang kurang suka dengan tato?

Saya enggak tahu sudut pandang orang lain, mungkin. Saya rasa kita ada di posisi di mana kita harus berlaku inklusif. Baik siapa pun ya. Itu passion yang saya praktikan juga. Dalam arti, ketemu dengan siapa pun, saya ya saya. Saya enggak mencoba menutup-nutupi.

Saya misal ketemu CEO mana pun, kadang tato ini malah jadi icebreaker: "Bikin di mana?" Banyak juga yang masih berpendapat tato itu premanisme dan lain-lain karena pada zamannya kita enggak bisa pungkiri. Tapi jujur untuk sekarang, ini enggak lebih dari sekadar pengingat. Enggak lebih dari apresiasi karya karena saya senang liat orang punya tato bagus.

Bisa dibilang hampir enggak ada (kendala) sih. Tapi kalau di pemerintah, beberapa kantor pemeritah kan punya dress code. Kalau ada dresscode, ya harus diikuti. Kalau enggak, ya saya setiap hari selalu pakai kemeja lengan pendek ketemu siapa pun. Baik itu ketemu orang kementerian sekali pun. Saya ke Kominfo juga pakai kemeja lengan pendek.

Tadi sering disebut tato itu pengingat, pengingat kejadian apa?

Contohnya, setiap milestone (kejadian penting) hidup saya. Misal saya ketemu istri saya, saya kebetulan dibaptis dewasa. Ada yang jadi pengingat. Di sini ada saint Michael, Mikail, pengingat ketika saya dibaptis. Ini pengingat ketika anak saya lahir karena anak saya kan lahir prematur.

Bisa dibilang istri saya melalui hal yang sulit banget. Bunda Maria kan melewati hal yang sulit juga. Jadi, ini pengingat bahwa di tangan kanan saya ada sosok ibu, meskipun bukan istri saya, tapi paling tidak apresiasi saya. Ini pengingat saya pernah ada di masa sulit. Akhirnya saya disadarkan sama ayat tersebut.

Contohnya kita menjalani prosedur ini kan challenge (tantangan) yang besar sekali, tapi kita cuma bisa usaha sebaik-baiknya, yang pada akhirnya ya kehendak-Nya, ya kehendak alam. Saya bisa punya pengalaman kerja di Tokopedia contohnya. Saya bisa ketemu orang dengan pengalaman kerja luar biasa, wisdom-nya luar biasa. Itu kan bukan kehendak kita. Saya ketemu orang Tokopedia beberapa kali, tapi saya bisa berakhir kerja di sana, ya itu kehendak alam.

Banyak sekali trigger (pemicu)-nya. Kalau saya enggak punya anak yang prematur, saya mungkin masih di Denpasar. Anak saya dulu lahir di Denpasar. Karena anak saya lahir prematur, mau enggak mau saya pindah ke Jakarta. Jadi, itu menurut saya kehendak alam.

Ada di industri ini bisa dibilang industri yang sangat stressful. Kita berhadapan dengan market (pasar) yang berubah setiap saat. Market enggak cuma dari sisi user, tapi dari sisi investor yang berubah setiap saat. Ya kegilaan itu pasti akan mengganggu produktivitas kita kan.

Itu jadi pengingat saya apa yang terjadi, ya terjadilah. Jadi, yang penting kita udah usaha 100 persen, asal kita jangan lupa bersyukur, berharap yang terbaik. Karena kan ada yang dibawa stres, ada yang sampai suicidal (bunuh diri), dan lain-lain.

Ada perubahan kebiasaan ketika bekerja di startup kelas unicorn dan bekerja di startup yang baru mulai seperti Qasir?

Pasti ada. Saya dulu nanganin 150 orang tersebar di 12 lantai. Saya punya kursi yang enggak pernah saya dudukin. Sekarang saya, seluruh tim saya ada di satu ruangan. Challenge-nya berbeda-beda. Bisa dibilang stage (level) yang ada di Tokopedia dengan yang ada Qasir berbeda. Tokopedia sudah berbentuk ekosistem, sementara Qasir sedang menuju ke sana.

Jadi, mungkin saya berusaha untuk maintain behavior (mempertahankan perilaku) yang saya rasa baik dari keduanya. Cuma enviroment-nya pasti akan beda. Di Tokopedia level senioritas pasti lebih tinggi. Di sini lebih rendah. Di sini saya lebih banyak bantu, ngajarin apa yang saya tahu. Belajar dari mereka apa yang saya enggak tahu. Di Tokopedia saya lebih banyak belajar. Karena jauh lebih senior saya dari teman teman saya.

Kalau dari sisi activity, kalau dulu saya harus fokus di satu bidang, sekarang saya harus fokus di semuanya. CEO kan chief everything officer. Jadi semuanya harus diladenin.

Artinya di Qasir lebih sibuk ya?

Kalau kesibukan sama ya karena kita kan cuma punya 24 jam sehari. Cuma sekarang saya lebih tersebar di semua departemen dibanding dulu. Kalau dulu saya cuma berurusan dengan desain produk. Kalau sekarang, ya ketika dibutuhkan untuk bisnis, saya masuk ke bisnis. Ketika saya dibutuhkan untuk desain produk, ya saya masuk ke desain produk.

Qasir kan masih belia, biasanya butuh kerja ekstra di awal pembentukan startup. Mengatur waktu untuk kehidupan pribadi seperti apa?

Waktu yang digunakan ya lebih banyak. Kebetulan keluarga saya ada di luar kota. Saya di sini ngebujang, tinggal sendiri. Otomatis output yang bisa saya lakukan, ya kerja. Sehari ada 24 jam, 8 jam tidur, sisanya kerja. Hobi saya kan baca, nikmatin seni. Itu kan bisa kapan saja. Kapan pun kalau dibutuhkan.

Contoh kalau saya mau ketemu user, yang punya warung, pemilik warung kan baru bisa diajak ngobrol ketika warungnya tutup, jam 10 malam. Jadi, saya mulai kerja jam 8 pagi, selesai kerja jam 10 sampai 11 malam. Tapi kalau kita menikmati, ya enggak kerasa aja waktunya.

Berpengaruh ke kesehatan pak?

Saya nyempetin waktu olahraga sih. Kalau enggak sempet nge-gym, saya olahraga di kantor. Di kantor untungnya anak-anak suka olahraga. Jadi, banyak alat seperti barbel, pull up bar, meja ping-pong, dan lain-lain. Saya sempetin ngeluarin keringet meskipun sedikit. Tapi setiap minggunya saya coba rutin olahraga, lagi program nurunin berat badan juga, makan harus dijaga.

Tapi paling tidak, kurangin minum kopi, banyakin minum air putih, olahraga sebisanya, makan harus teratur karena saya punya maag sebelumnya, begitu mulai makan teratur, tidak pernah kambuh.

Komposisi pegawai milenial di Qasir berapa persen?

Bisa dibilang mayoritas milenial. Definisi milenial kan lahir setelah tahun 80-an, semuanya di atas tahun 80. Semuanya bisa dibilang milenial. Tapi ada juga yang perbatasan, ada 80-an awal, ada juga yang orang bilang Gen Z.

Ada yang lahir tahun 2000?

Kebanyakan anak magang atau fresh graduate yang baru-baru (bekerja). Yang menarik, kita sering dapat talent dari SMK. Talent SMK tidak kalah dengan talent dari universitas.

Milenial kan biasanya loyalitas agak kurang, untuk mengoordinasikan angkatan kerja milenial seperti apa?

Saya kurang setuju dengan kurang loyal. Menurut saya, loyal apa enggak bergantung apakah mereka percaya dengan visi perusahaan secara keseluruhan. Di Qasir, turn over (pergantian SDM) sangat rendah. Sampai sekarang karyawan yang masuk, baru 3 persen yang keluar. Bisa dibilang, employee (karyawan) number 1, 2, 3 masih ada di Qasir.

Kita terus berusaha bagaimana pun untuk meningkatkan potensi mereka. Pilihannya kan selalu dua, you will either grow in company, or company grow you. Company lebih cepat berkembang daripada timnya. Itu saya belajar banyak di pengalaman sebelumnya di Tokopedia.

Sebelumnya ya, sangat penting untuk kita memberikan ilmu-ilmu yang sudah kita dapatkan. 

Kalau mengoordinasi, hampir sama, milenial sama nonmilenial. Cuma milenial mungkin lebih ingin didengar. Saya rasa cuma budaya di Indonesia, karyawannya jarang didengar. Di perusahaan rintisan sekarang, di mana pun itu saya rasa sama, semua orang bisa didengar.

Dari millennial workforce sendiri di Qasir ada demand tertentu yang membuat kerja jadi nyaman?

Secara spesifik sih enggak ada demand, kita bukan tipe yang men-demand. Kita punya meja ping-pong, meja biliar kaya gini. Pada dasarnya bisa dibilang milenial ingin memberikan impact pada society. Kita berusaha untuk menjadi jembatan untuk itu sih. Saya belajar banyak dari company saya sebelumnya, Tokopedia, mencari purpose, tujuan hidup itu penting. Itu saya bawa sampai sekarang, dan itu yang terus kita pacu di Qasir, apakah Qasir relevan dengan misi mereka. Mayoritas berkata masih sama.

Kalau konsumen sendiri, UMKM kan jadi pasar utama, dan masih banyak yang belum go digital, tapi banyak juga yang didirikan oleh milenial, kalau UMKM yang didirikan oleh milenial ada strategi khusus?

Sebagai seorang yang latar belakangnya produk, saya percaya bahwa produk yang baik akan menghasilkan kualitas konsumen yang baik. Yang kedua consumer happiness. Qasir berkembang dari 5 ribu user sampai 700 ribu user dalam waktu 18 bulan.

Kita mengambil contoh, saya bangga dengan tim kami. Review di Playstore, kami konsisten di rating 4,7 bintang. Kalau dibilang salah satu karakter milenial adalah mereka enggak sabar. Bisa dibilang salah satu yang kami berusaha selalu lakukan adalah memastikan kalau ada masalah, semua terselesaikan dengan baik.

Kita bersyukur banget kita punya tim consumer happiness yang reaktif, sangat proaktif. Mereka responsif banget ke user kita. Bisa dibilang kami banyak banget dapat feedback dari user milenial. Kuncinya, produk dan consumer happiness.

Untuk meningkatkan adopsi digital di konsumen UMKM seperti apa?

Realitanya, kalau mau dibilang definisi go digital sangat luas. 'Apakah mereka online atau enggak' bukan sepertinya. Ketika mereka mengelola tanpa mereka online, tapi sudah mengelola dengan sistem, apakah mereka sudah go digital? Jadi, kita melihatnya mayoritas yang ada di Indonesia belum go digital karena yang terjadi adalah mereka sudah bertransisi ke arah sana, tapi faktanya masih banyak keterbatasan. Apakah itu koneksi internet, apakah itu knowledge.

Rata-rata anak-anaknya orang tua yang ada di desa ini merantau. Kalau di Jakarta yang ngajarin orang tua tentang teknologi anak-anaknya. Tapi semenjak ada aplikasi, confidence level kita tinggi banget untuk pakai teknologi. Mungkin challenge terbesarnya adalah edukasi, dan yang paling penting menjadi usaha yang digital hanya salah satu aspek untuk membantu mereka naik kelas dari tadinya mikro menjadi usaha kecil dan menengah.

Kita harus melihat digital sebagai alat. Alatnya digunakan dengan baik atau tidak. Semua bertumpu pada pelatihan. Sebelum mereka menggunakan digital, mereka harus tahu dulu kenapa digital ini diperlukan. Contohnya, jualan online aja enggak cukup, banyak yang berjualan online yang gagal karena memang fundamental bagaimana cara yang baik berjualan online, bagaimana cara marketing berjualan online, tidak dilakukan.

Ada empat masalah, lack of business skills, lack of access of technology, lack of affordable financial access, dan income. Business skill itu bukan sekadar bisa pakai handphone dan berjualan online. Tapi bagaimana berjualan secara online, channel apa saja untuk memasarkan produknya. Bisa dibilang itu yang enggak selalu dijabarkan dan dibagikan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bernadinus Adi Pramudita
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: