Pemerintah Berencana Pulangkan Anak WNI Eks ISIS, Stafsus Presiden Ungkap Rinciannya
Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono, menyatakan bahwa pemerintah terus mematangkan rencana pemulangan anak-anak di bawah usia 10 tahun WNI eks ISIS.
Menurut Diaz, pemerintah tengah menyiapkan program-program khusus pendampingan jika anak-anak pulang ke Tanah Air dari kamp Suriah. Diketahui, lokasi tersebut kemungkinan besar para anak melihat situasi konflik dan mulai diajarkan pemahaman radikal.
Baca Juga: Istana Ungkap Presiden Jokowi Takkan Pulangkan Ratusan ISIS Eks WNI di Suriah
"Kami berdiskusi mengenai persiapan Kemensos dalam menampung anak-anak yang akan kembali ke Indonesia dari Syria, yang ortunya tergabung dengan ISIS,” kata Diaz usai bertemu Kanya Eka Santi selaku Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos, Sabtu (7/3/2020).
Diaz mengatakan, tujuan mengundang pihak Kemensos untuk mendengarkan paparan penanganan pengembalian anak-anak yang terpapar radikalisme. Dalam presentasinya, ia mendapatkan informasi mengenai indikasi tanda-tanda seorang anak telah terpapar radikalisme serta proses rehabilitasinya.
"Karakter orang terpapar radikalisme biasanya ialah menolak mengucapkan salam, menolak makan ayam atau daging, menolak salat di masjid yang tidak dibangun komunitas mereka, menolak segala bentuk aktivitas seni, membenci aparat negara, dan yang paling krusial ialah menolak Pancasila sebagai ideologi negara," kata Diaz mengulang paparan Kanya.
"Saya memberi masukan ke beliau bahwa anak-anak pun harus diberi kategori yang jelas," lanjut Diaz.
Diaz meminta agar pemerintah nanti memberi klaster kepada anak-anak WNI eks-ISIS ketika tiba di Indonesia. Dia pun menyebut istilah 'Dependant' dan 'Fighter'.
Salah satu temuan yang pernah didapat adalah adanya seorang anak 11 tahun bernama Haft Saiful Rasul (kategori Fighter) yang meminta izin kepada ayahnya untuk berjuang ke Syria. Haft Saiful pergi bersama 12 orang lainnya yang berasal dari sebuah pesantren di Bogor. Sayangnya, tahun 2017, bocah ini tewas di Syria akibat serangan bom.
"Kemensos, BNPT, dan Densus perlu mengidentifikasi apakah anak-anak yang nantinya akan dibawa ke Indonesia termasuk Dependant (mereka anak-anak sekadar ikut orang tuanya ke Syria) atau Fighter (pejuang yang kebetulan secara umur masih bocah, contoh Haft Saiful Rasul)," ujarnya.
Program rehabilitasi, deradikalisasi yang diberikan kepada anak-anak ini, pun otomatis disebut harus berbeda. "Tolak Fighter, seleksi ketat untuk Dependant," tutur Ketua Umum PKPI ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum