Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Harus Waspadai Pergerakan ICP, Ini Alasannya

Pemerintah Harus Waspadai Pergerakan ICP, Ini Alasannya Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development, Institut for Development Economic and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan pemerintah harus waspada terhadap pergerakan Indonesian Crude Price (ICP). 

Menurutnya, kondisi tren harga minyak dunia yang cenderung turun tidak dapat menjadi patokan ke depanya harga tersebut akan tetap stabil. 

"Tren harga minyak dunia saat ini memang cenderung turun, namun pemerintah harus tetap waspada dan antisipatif jika terjadi pergerakan ICP dan kurs melampaui asumsi APBN 2023," ujar Abra dalam diskusi virtual, Selasa (14/2/2023). 

Baca Juga: BPH Sebut Akan Hemat 9,9 Juta Kiloliter BBM Subsidi Jika Revisi Perpres 191/2014 Segera Jalan

Abra mengatakan, hal tersebut berdasarkan atas masih tingginya tensi geopolitik Rusia-Ukraina, risiko kembali naiknya harga minyak dunia masih terbuka lebar.

"Hal ini juga terkonfirmasi dari skenario SKK Migas yang memproyeksikan harga minyak mentah tahun 2023 dalam range US$70-110 per barel," ujarnya. 

Lanjutnya, dari hasil simulasi Indef, dengan asumsi seperti APBN 2023 di mana harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$90 per barel dan nilai tukar rupiah Rp14.800.

Jika pada tahun 2023 ini terjadi lonjakan atau tambahan kuota Solar Subsidi 12,8 persen dan kuota Pertalite 27,8 persen, maka potensi tambahan subsidi dan kompensasi BBM dan LPG 2023 mencapai Rp51,9 triliun sehingga berpotensi mengerek naik defisit APBN menjadi 3,09 persen terhadap PDB.

Risiko lainnya yaitu jika harga ICP melonjak jadi US$100 per barel dan nilai tukar rupiah menyentuh Rp15.000, maka potensi tambahan subsidi dan kompensasi BBM dan LPG 2023 sebesar Rp62,1 triliun sehingga berpotensi mengangkat defisit APBN ke level 3,13 persen terhadap PDB. 

Di tengah kondisi tersebut, pemerintah perlu segera melakukan revisi Perpres Nomor 191 tahun 2014 tentang pembatasan distribusi BBM subsidi, sehingga diharapkan kuota BBM subsidi dapat ditekan.

Selain itu, agar tambahan subsidi dan kompensasi energi tidak sampai menyebabkan defisit APBN 2023 melampaui 3 persen terhadap PDB, pemerintah juga perlu segera melakukan reformasi kebijakan subsidi energi dari mekanisme terbuka menjadi subsidi tertutup (targetted). 

Revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang segmentasi konsumen BBM subsidi serta profiling konsumen BBM dan LPG subsidi berbasis digital melalui platform MyPertamina merupakan instrumen transisi dalam mendukung transformasi kebijakan subsidi energi nasional.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: