Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Global Security Initiative Ala Xi Jinping Jadi Sorotan, Pakar Minta Indonesia Hati-hati!

Global Security Initiative Ala Xi Jinping Jadi Sorotan, Pakar Minta Indonesia Hati-hati! Kredit Foto: Muhammad Syahrianto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Global Security Initiative (GSI) ala Presiden China Xi Jinping telah menjadi perhatian bagi para pengamat dan pakar hubungan internasional dari Indonesia. Itu merupakan gagasan yang diluncurkan melalui "makalah konsep" Kementerian Luar Negeri di Beijing pada 21 Februari 2023.

"Inisiatif Keamanan Global atau GSI ala Xi Jinping perlu diwaspadai dan disikapi secara hati-hati oleh Indonesia," kata Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto, dalam seminar bertajuk "Global Security Initiative (GSI) Ala Xi Jinping: Pandangan dan Dampaknya bagi Asia Tenggara", Sabtu (6/5/2023), di Jakarta.

Baca Juga: Terkuak 'Campur Tangan' Krusial Xi Jinping dalam Membujuk Arab Saudi dan Iran

Sementara itu, pakar hubungan internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna menerangkan landasan prinsip yang digunakan Presiden China dalam mengambil kebijakan GSI.

"Yang pertama (GSI) memegang teguh visi keamanan bersama, menyeluruh, kooperatif, dan berkelanjutan. Dan selanjutnya, (China) menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara," kata Shofwan dalam paparannya.

Ia melanjutkan, dalam GSI dilandasi prinsip Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam memperhatikan dengan serius concern keamanan yang sah dari semua negara.

"Sehingga (GSI) dapat menyelesaikan perbedaan dan sengketa antar negara dengan damai melalui dialog dan konsultasi, dan berkomitmen menjaga keamanan tradisional maupun non-tradisional," tuturnya.

Menurutnya, GSI sebenarnya bagian yang tak terpisahkan dari sebuah skema yang telah berlangsung sejak 2010. China yang dulu menyembunyikan kuku, kini merasa sudah kuat dan mulai menunjukan kuku dan taringnya, bukan untuk menakuti nakuti negara-negara di sekitarnya, tetapi untuk mencegah terjadinya perang. 

China menyampaikan kepada status quo, Amerika Serikat bahwa kebangkitannya tak terhentikan.

“Bukan berarti China ingin menghabisi kekuatan status quo, tetapi meminta agar ia memiliki ruang yang lebih besar dalam sistem internasional bagi kebangkitannya,” tutur Shofwan.

Menyambung hal itu, dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) mengutarakan pandangan lain. GSI menekankan penolakan China terhadap "mentalitas Perang Dingin", unilateralisme, konfrontasi antarblok, dan hegemonisme, sayangnya, prinsip-prinsip di atas menuai kritik dan dianggap sekedar retorika oleh para pengamat kebijakan internasional China.

“Sebagai contoh, Dr. Rajeswari Pillai Rajagopalan, direktur pada Centre for Security, Strategy and Technology (CSST) yang berbasis di New Delhi, menganggap China memperlihatkan kemunafikan karena mengajukan prinsip prinsip yang telah mereka langgar sendiri,” tutur Johanes. 

“Rajagopalan merujuk pada konflik yang sering mewarnai sengketa perbatasan antara China dan India sebagai contoh dari tindakan China yang bertentangan dengan prinsip prinsip yang mereka gagas di atas,” lanjutnya

Dosen pemerhati China ini memberikan contoh lain terkait gagasan menolak "mentalitas Perang Dingin" dan konfrontasi blok, seperti bersikap serupa dengan membangun kemitraan tanpa batas dengan Rusia dan upaya membangun pakta keamanan dengan negara-negara Kepulauan Pasifik.

Dalam pandangan Johanes, prilaku China di seputar Laut China Selatan (LCS), bahkan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna merupakan contoh relevan yang memperlihatkan kontradiksi antara gagasan indah GSI dengan prilaku nyata China.

Dalam penjelasannya, Johanes merujuk pada berbagai insiden di mana kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan China berhadapan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara tersebut dalam satu dasawarsa terakhir. Filipina dan Vietnam merupakan negara yang wilayah ZEE-nya seringkali dilanggar oleh kapal-kapal penjaga pantai China.

“Hal yang sama juga terjadi dengan Indonesia, yang sebenarnya tidak terlibat dalam sengketa di LCS.  Setidaknya sejak tahun 2010, China telah berulang kali melakukan aktivitas yang tak mengindahkan hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE kita di sekitar Kepulauan Natuna,” tutur Johanes.

Ketua FSI pun menilai, tingkah laku China di atas menyebabkan berbagai kelompok masyarakat di negara-negara Asia Tenggara bersikap hati-hati dan waspada terhadap gagasan asal China tersebut.

Johanes merujuk pada tulisan Hoang Thi Ha, peneliti dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, yang memperlihatkan minimnya dukungan masyarakat Asia Tenggara terhadap GSI.

“Dari 1.308 responden yang turut serta dalam survei yang dilakukan Hoang Thi Ha dan para koleganya, hanya 27,4 persen merasa yakin atau sangat yakin bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi wilayah Asia tenggara. 44,5 persen responden merasa kurang yakin atau bahkan tidak yakin sama sekali,” jelasnya.

Ia juga menuturkan bahwa hanya 19 persen responden yang meyakini bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi Indonesia.

Senada dengan mayoritas responden survei yang dilakukan oleh lembaga think tank asal Singapura di atas, Johanes pun beranggapan bahwa GSI perlu disikapi dengan kewaspadaan. Ia pun mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia yang terkesan hati-hati dalam menanggapi inisiatif China tersebut.

“Indonesia hanya menyatakan memperhatikan keberadaan GSI dan siap untuk bekerja bersama pihak China dalam memastikan kedamaian dan stabilitas melalui dialog dan diplomasi. Pernyataan ini, menurut pakar hukum internasional Aristyo Rizka Darmawan, memperlihatkan bahwa Indonesia hanya secara prinsip setuju untuk bekerja bersama China dalam hal GSI sambil menunggu pihak China mengartikulasi dan mengelaborasi insiatif yang masih belum terlalu jelas itu,” lanjut Johanes. 

Sebagai penutup pemaparannya, Johanes menyatakan bahwa, “Selama China masih sibuk membangun kehadiran militernya di perairan LCS, menerapkan operasi gray-zone di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara, termasuk di perairan dekat Kepulauan Natuna, membuat pengelompokan yang menyerupai blok aliansi seperti yang diupayakan dengan negara-negara Kepulauan Pasifik, maka retorika GSI --yang menekankan kedamaian, penghormatan kedaulatan, kesetiaan terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB, dan penolakan terhadap mentalitas perang dingin-- akan tetap tinggal sebagai retorika yang sulit untuk memperoleh kepercayaan.”

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto

Advertisement

Bagikan Artikel: