Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pelarangan Angkutan Barang Saat Hari-Hari Besar Keagamaan Dinilai Tidak Memperhitungkan Kerugian Pelaku Logistik

Pelarangan Angkutan Barang Saat Hari-Hari Besar Keagamaan Dinilai Tidak Memperhitungkan Kerugian Pelaku Logistik Kredit Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan pelarangan angkutan barang pada setiap momen libur hari-hari besar keagamaan sangat merugikan para pelaku logistik. Pemerintah dinilai selama ini tidak pernah melakukan perhitungan berapa besar kerugian yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut.  

“Dari sisi logistik, kerugiannya pasti ada. Sayangnya, pemerintah belum pernah melakukan perhitungan kerugian terhadap para pelaku logistik akibat kebijakan pelarangan itu. Ini yang menyebabkan kebijakan pelarangan itu muncul pada setiap libur hari-hari besar keagamaan. Pemerintah selalu memprioritaskan harus penumpang dulu daripada arus logistik,” ujar Pakar Logistik dari Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI), Dodi Permadi baru-baru ini.

Menurut Dekan Sekolah Vokasi ULBI ini, sebetulnya memang bisa saja para pelaku logistik itu menggunakan truk-truk angkutan barang di bawah 14.000 ton.

“Cuma, bagi pelaku logistik itu tidak untung kalau mengangkutnya di bawah itu karena menghitung program cost-nya tidak masuk. Nah, kerugian-kerugian ini yang selama ini tidak dihitung pemerintah,” tukasnya.

Baca Juga: Tol Binjai – Langsa Seksi Kuala Bingai – Tanjung Pura Siap Dongkrak Logistik di Sumatera

Selain itu, pemerintah juga tidak memiliki data terkait berapa besar kebutuhan suatu daerah terhadap barang-barang yang dilarang tersebut.

Dia mencontohkan seperti air minum dalam kemasan (AMDK), pemerintah sama sekali tidak pernah menghitung berapa kebutuhan air minum tersebut di daerah-daerah dan ujug-ujug angkutan logistiknya dilarang. 

“Ini kan bisa menyebabkan kelangkaan barang tersebut di sejumlah daerah yang mungkin banyak membutuhkan AMDK ini,” katanya.

Jadi, menurutnya, ada yang bisa dilakukan pemerintah sebetulnya selain pelarangan angkutan logistik, yaitu pembatasan. “Diperbolehkan saja beroperasi, tapi dibatasi jam-jamnya,” ucapnya.

Menurut Dodi, seharusnya bukan hanya truk logistiknya saja yang harus dibatasi operasionalnya, tapi pemerintah juga harus membatasi untuk mudik di hari-hari yang padat. Misalnya kalau mudik bawa kendaraan pribadi, itu hanya boleh dilakukan pada H-6.

“Lewat dari jadwal tersebut, para pemudik wajib menggunakan kendaraan umum. Ini kan belum pernah dilakukan pemerintah,” tandasnya.

Baca Juga: Membangun Pondasi Pelayanan pada Industri Logistik

Lanjut Dodi, "Pemerintah juga bisa menghitung dulu kapasitas kendaraan di jalan itu berapa, dan nanti yang diperbolehkan mudik menggunakan kendaraan pribadi itu yang sudah teregister saja sesuai kuota yang sudah ditentukan."

“Kalau misalkan orang mau ke Jawa dan bawa mobil tapi tidak mau daftar, ya sudah kirimkan dulu kendaraannya. Jadi, nggak ada lagi itu pelarangan-pelarangan kendaraan logistik karena kapasitasnya kan masih mencukupi,” ucapnya.

Apalagi, katanya, peringkat Logistic Performance Index  (LPI) Indonesia turun jauh dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Pada 2023, LPI Indonesia turun dari peringkat 46 pada 2028 menjadi 61.  Sementara Cina berada di peringkat 19, India peringkat 47, Singapura peringkat 1, Malaysia peringkat 32, dan Thailand 45.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: