Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Banyak Investor Kabur ke Luar Negeri, Pelaku Industri Gerah dengan Kebijakan Pajak Kripto

Banyak Investor Kabur ke Luar Negeri, Pelaku Industri Gerah dengan Kebijakan Pajak Kripto Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Para pelaku industri aset kripto geram dengan pengenaan pajak kripto yang memberatkan investor. Akibatnya, banyak investor dalam negeri yang lebih memilih berinvestasi aset kripto di luar negeri.

CEO Indodax Oscar Darmawan mengatakan, pengenaan pajak kripto yang diterapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 perlu ditinjau ulang. Hal tersebut bisa menjadi sebuah trigger atau pemicu untuk merangsang pertumbuhan industri kripto di Indonesia.

"Dari sisi industri tentunya kita berharap supaya pajak di industri kripto ini sama seperti di bursa saham, dimana pajak finalnya cuma 0,1 persen," ungkap Oscar pada talkshow 'A Decade of Building Crypto Ecosystem' yang diadakan Indodax dalam rangka merayakan HUT Indodax ke-10 di Menara BRIPens, Jakarta, dikutip Rabu (28/2/2024). Baca Juga: Terungkap, Ini Kebiasan Unik Investor Kripto di Indonesia

Saat ini terdapat berbagai jenis pajak aset kripto yang dikenakan di Indonesia yaitu Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,10 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11 persen. Selain itu, ada pula tambahan 0,02 persen untuk biaya bursa, deposito, dan kliring.

Menurut Oscar, pengenaan pajak kripto sebesar 0,21 persen (PPh dan PPN) menjadi keengganan para investor untuk berinvestasi di dalam negeri. Ia berkaca pada transaksi saham yang hanya dikenakan PPh sebesar 0,1 persen.

"Kalau sekarang kan kenanya (pajak kripto) 0,21 persen, jadi kan cukup tinggi ya. Jadi harapannya supaya seperti di saham yang cuma dikenakan PPh final. Jadi PPN finalnya dihapuskan, seharusnya," pinta dia.

Permintaan keringanan pengenaan pajak kripto ini, tutur Oscar, sebenarnya menjadi momentum bagi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk mengupayakan penyesuaian.

Sebab, tak lama lagi industri kripto bakal dialihtugaskan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sesuai mandat Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

"Sebentar lagi industri kripto ini akan beralih ke dalam OJK. Kalau di dalam OJK, artinya kripto dianggap sebagai transaksi keuangan, sehingga tidak tepat lagi dikenakan PPN. Harapannya dengan itu, pajaknya bisa menjadi 0,1 persen," tegas Oscar.

Investor Kabur, Nilai Transaksi Aset Kripto Melempem

Pada kesempatan yang sama, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti Tirta Karma Senjaya mengungkapkan, besarnya pengenaan pajak kripto di Indonesia berdampak kepada nilai transaksi kripto dalam negeri.

Berdasarkan data Bappebti, nilai transaksi aset kripto hingga September 2023 mencapai Rp94,41 triliun. Angka tersebut turun 69,18% dibandingkan 2022 dengan nilai transaksi aset sebesar Rp306,4 triliun. 

"Dengan pengenaan pajak sebesar saat ini menambah biaya bagi para nasabah. Banyak nasabah yang transaksi di exchange luar negeri," tutur Tirta.

Ia menambahkan, pengenaan tersebut karena aset kripto saat ini masih dianggap sebagai barang komoditas. Tirta pun berharap pajak kripto bisa dikenakan setengahnya, mengingat industri kripto di tanah air yang masih baru.

"Kalau dikenakan langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh," ujar Tirta.

Sementara itu, Sekretaris Bappebti Olvy Andrianita mengaku pihaknya telah mengajak para pelaku industri kripto dan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membahas permintaan keringanan pengenaan pajak kripto. Baca Juga: CFX Bursa Kripto Pertama di Dunia Resmikan CFX Tower

"Kita lagi bahas itu (permintaan keringanan pengenaan pajak kripto), tahun lalu dia (pelaku industri kripto) usulin ke Bappebti, tapi kita lagi sinkronisasi lagi," jelas dia.

Sayangnya, Olvy enggan menjelaskan lebih lanjut soal sinkronisasi yang dimaksud. Yang jelas, kata Olvy, sinkronisasi tersebut diyakini bisa memuaskan semua pihak. Di satu sisi bisa meningkatkan gairah ekosistem dalam negeri, dan di sisi lain tidak mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak kripto.

"Pokoknya yang jelas tidak mengurangi pendapatan negara tapi justru akan memperbaiki kinerja kripto ini, bagaimana memberikan kontribusi untuk pajak. Kita juga inginnya itu," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: