Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemulihan Ekonomi AS, Manisnya Belum Terasa (I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pemerintah AS optimistis dengan pertumbuhan ekonominya di tahun ini. Hal ini menandakan negara adidaya itu telah benar-benar keluar dari krisis yang membayanginya sejak 2008.

Indikator ekonomi menunjukkan bahwa Amerika Serikat (AS) kembali menjadi leader dari pertumbuhan ekonomi global. Ekonomi Negeri Paman Sam menguat saat Tiongkok dan Eropa masih berjuang untuk pulih.

Ekonomi AS diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,2% atau mungkin lebih di tahun ini. Itu merupakan pertumbuhan terbesar pasca-2005. Indikatornya terdapat pada penurunan angka pengangguran dan peningkatan belanja konsumen. Jika AS dapat tumbuh sesuai proyeksi tersebut, menurut data IMF, ini merupakan pertama kalinya sejak 1999, pertumbuhan ekonomi AS tidak tertinggal dibandingkan pertumbuhan global. CEO Decision Economics Allan Sinai mengatakan AS telah kembali menjadi mesin dari pertumbuhan ekonomi global. "Ekonomi sedang bagus dan dalam kondisi terbaik sejak 1990-an," ujar Allan, seperti dikutip Bloomberg.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan, per Desember 2014, pekerjaan baru bertambah hingga 252.000. Selain itu, menurut laporan yang dirilis 9 Januari lalu, angka pengangguran turun hingga ke tingkat 5,6%. Itu merupakan yang terendah sejak Juni 2008. Pertumbuhan pekerjaan di bulan Desember ditopang oleh pertumbuhan lapangan pekerjaan di sektor konstruksi yang tumbuh signifikan dalam setahun ke belakang. Selain itu, pabrik-pabrik, perusahaan penyedia layanan kesehatan, dan bisnis jasa juga bertumbuh.

Menilik laporan ekonom Deutsche Bank yang dirilis 9 Januari lalu, GDP AS akan tumbuh 3,7% tahun ini, setelah tumbuh 2,5% pada 2014. AS akan berkontribusi mendekati 18% terhadap pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi mencapai 3,6% tahun ini, jauh lebih tinggi dibanding kontribusi negara-negara maju lainnya yang hanya sekitar 11%.

Dalam laporan Global Economy Watch yang dirilis di awal tahun ini, PricewaterhouseCoopers mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan mencapai titik tercepat sejak sepuluh tahun terakhir. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengangguran di Negeri Paman Sam yang menurun selama tahun 2014, hingga mencapai di bawah 6%. Selain itu, anjloknya harga minyak di pasar dunia diyakini dapat makin meningkatkan konsumsi rumah tangga di AS. Lembaga auditor terkemuka dunia itu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS akan mencapai lebih dari 3% di tahun 2015. Ini merupakan tingkat pertumbuhan tercepat sejak tahun 2005.

Sejalan dengan kondisi tersebut, diperkirakan bahwa AS akan memberikan kontribusi sebesar 3% kepada pertumbuhan PDB dunia di tahun 2015, yang merupakan kontribusi terbesar per tahunnya sejak masa krisis keuangan.

Di luar analisis optimistis mengenai pertumbuhan GDP AS di tahun ini, Departemen Perdagangan AS, Rabu (14/1), mengumumkan bahwa pada bulan Desember lalu penjualan ritel AS secara mengejutkan turun sekitar 1%. Pengumuman ini langsung berimbas pada anjloknya pasar saham. Padahal, bulan Desember umumnya menjadi puncak dari belanja masyarakat di sana. Selain itu, sektor otomotif, konstruksi, dan restoran juga dianggap masih pada kondisi yang cukup rapuh.

Penurunan terjadi kala harga minyak mentah di pasar dunia telah anjlok, pengurangan angka pengangguran, dan kepercayaan diri pemerintah bahwa AS telah keluar dari krisis yang memukul perekonomian tersebut sejak 2008. Ekonom dari California State University, Sung Won Sohn, mengatakan penurunan yang juga terjadi pada belanja yang bersifat web-based sangat mengecewakan.

"Saatnya untuk mengurangi kegembiraan yang terlalu berlebihan mengenai ekonomi AS," katanya, seperti dikutip dari The Washington Post.

Ia melanjutkan, penurunan harga minyak dan refleksi lapangan pekerjaan yang lebih baik seharusnya membuat konsumen meningkatkan belanjanya di sektor ritel, tetapi ternyata hasil yang terlihat sangat berbeda. Wal-Mart, salah satu pemain ritel besar di AS, mengatakan bahwa penurunan penjualan sebesar 0,9% di bulan Desember merupakan penurunan terburuk sejak 2011.

Sementara itu, menurut lembaga riset lokal HP Analytics, unemployment rate AS memperlihatkan tren penurunan dari level 6,7% pada akhir 2013 menjadi 5,8% pada November 2014. Meski demikian, proyeksi pasar tenaga kerja AS tidak sepenuhnya optimistis mengingat penurunan tingkat pengangguran dan akselerasi dalam penciptaan lapangan kerja belum ikut mendorong peningkatan upah pekerja AS yang hanya tumbuh 2,1% dalam 12 bulan terakhir atau hampir tidak berubah sejak dimulainya pemulihan ekonomi AS pada pertengahan 2009 lalu. Pertumbuhan pendapatan yang stagnan menjadi kendala lain dalam proses pemulihan ekonomi AS serta menjadi salah satu alasan Fed untuk mempertahankan tingkat suku bunga pada level rendah.

Senada dengan riset tersebut, Fund Manager Janus Capital Group Inc. Bill Gross mengatakan pertumbuhan penghasilan tidak seimbang dengan pertumbuhan lapangan kerja yang tumbuh jauh lebih signifikan. Alhasil, sulit untuk menjaga ekspansi ekonomi pada kecepatan di mana Federal Reserve berencana untuk menaikkan interest rate. Dalam wawancara dengan Bloomberg, Gross mengatakan penyebabnya adalah upah yang pertumbuhannya belum cukup baik. “Pasar memiliki tanggapan yang berbeda atas apa yang akan dilakukan oleh The Fed,” katanya.

Menurut Gross, AS berhasil menciptakan lapangan pekerjaan baru, yang sebagian besar bisa jadi bersifat paro waktu. Penciptaan pekerjaan, lanjutnya, merupakan hal yang patut diapresiasi. Namun, upah juga merupakan hal penting yang patut diperhatikan. Ia mengatakan tingkat upah yang sekarang tidak cukup kuat untuk menjadi penyangga ekspansi ekonomi AS.

"The Fed tentu ingin meningkatkan jumlah pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan menjaga inflasi," ujar dia, yang memprediksi bahwa bank sentral AS tersebut akan meningkatkan suku bunga, sebesar 0,5%, tahun ini, yang merupakan pertama kalinya sejak 2006.

Tentunya, lanjut dia, dengan tingkat rata-rata upah per jam yang tumbuh hanya 1,7% tidak akan cukup. Menurutnya, jika ingin mencapai inflasi sebesar 2%, upah harus tumbuh hingga 3%-3,5%.

Sumber: WE/02/XXVII/2015

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: https://wartaekonomi.co.id/author/jafei
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: