Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Renungan Kenaikan Harga Pangan Jelang Ramadhan

Oleh: ,

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Rutinitas kenaikan harga jelang bulan puasa dan lebaran menjadi permasalahan prioritas pemerintahan Jokowi. Bulan lalu seperti yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan Seskab Pramono Anung, dalam rapat terbatas di kantor presiden, presiden meminta para menteri terkait untuk menstabilkan harga pangan jelang puasa dan lebaran.

Komoditas pangan yang masuk dalam sasaran stabilitas harga di antaranya beras dan daging serta kebutuhan rumah tangga lainnya seperti bawang putih, bawang merah, cabai merah, dan sawit. Harga daging ditargetkan berada di kisaran 80ribu/kg-85ribu/kg, harga gula akan dijaga tidak lebih dari 12ribu/kg, harga bawang merah ditargetkan 25ribu/kg, sedangkan untuk harga beras dengan cadangan sekitar 160 juta ton diperkirakan aman.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan daging menjelang bulan puasa dan lebaran Kementerian Pertanian membuka pintu kepada PT Berdikari (Persero) untuk mengimpor 10 ribu ton daing sapi. Pelaksanaannya secara bertahap, lima ribu ton yang akan masuk 1-2 minggu dan setengah lagi harus masuk sebelum lebaran.

Pemprov DKI melalui BUMD, PD Dharma Jaya juga mengajukan impor daging sapi beku 500 ton dari Australia dan Selandia Baru.

Sebelumnya Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan tidak akan mengeluarkan izin impor bawang merah, Selasa (24/5/2016). Pada kesempatan lain Menko Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan pemerintah akan melakukan impor bawang merah sebanya 25 ribu ton, Jakarta, Selasa (24/5/2016). Apalagi, bawang putih yang 95% kebutuhannya dipasok dari luar untuk menstabilkan harga sudah pasti impor.

Impor beras dalam rangka menstabilkan haga jelang puasa dan lebaran masih simpang siur. Pada HUT Perum Bulog di Jakarta, Wapres JK menyatakan tidak ada masalah dengan stok beras, Selasa (10/5/2016). Di kesempatan lain Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan impor beras akan diputuskan pada ahir Mei 2016, Selasa (12/5/2015). Sementara itu, di lapangan beberapa pedagang beras mengungkapkan sudah ada beras impor.

Kebutuhan pangan lainnya seperti, jagung, kedelai, kacang tanah, gandum untuk memenuhi permintaan jelang puasa dan lebaran dipastikan impor karena sudah menjadi komoditas impor.

Tren inflasi bahan makanan lebaran dimulai satu bulan menjelang puasa. Pada tahun 2015 Ramadhan jatuh pada bulan Juni, tingkat inflasi bahan makanan menjelang puasa, dan saat lebaran sebesar 1,39% Mei 2015, 1,60% Juni 2015; 2,02% Juli 2015. Pada tahun 2014 Ramadhan jatuh pada tanggal 30 Juni, tingkat inflasi bahan makanan sebelum dan pada saat lebaran sebesar -0,15% Mei 2014; 0,99% Juni 2014; 0,36% Agustus 2014. Pada tahun 2013, Ramadhan jatuh pada bulan Juli, bertepatan dengan kebijakan kenaikan harga BBM dan gagal panen pada bulan itu inflasi bahan makanan melambung mencapai 5,46%. (BPS)

Selama lima tahun tren kenaikan inflasi bahan makanan puasa & lebaran berada di kisaran 1%. Inflasi & puasa dan lebaran tahun ini pun diperkirakan berada di kisaran itu dengan kenaikan harga bahan makanan di kisaran 10%-12%.

Keadaan harga bahan pangan menjelang bulan puasa dan lebaran merupakan tolak ukur ketahanan dan kedaulatan pangan nasional dari sisi permintaan. Stabilitas harga dan kebijakannya dapat dijadikan indikator ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, sedangkan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional merupakan cerminan dari pembangunan pertanian nasional.

Sekitar satu tahun lalu presiden mencanangkan kedaulatan pangan khususunya empat komoditas, yaitu beras, gula, jagung, dan kedelai. Satu tahun berselang guna memenuhi kebutuhan lebaran pemerintah harus melakukan kebijakan impor pada hampir semua komoditas pangan, sepertinya jangankan kedaulatan pangan, ketahanan pangan nasional saja terlihat rapuh.

Terdapat tiga faktor utama pembentuk harga bahan pangan, permintaan, penawaran, dan sistem distribusi. Sistem distribusi menyangkut rantai tata niaga, stok, pergudangan, dan transportasi. Selepas era swasembada pangan di masa orde baru, ketiganya mengalami permasalahan yang rumit.

Kebijakan impor mengindikasikan adanya masalah pada ketersediaan pangan. Jika pengingkatan bahan makanan inflasi 1% pada saat lebaran dengan asumsi perkiraan tingkat permintaan meningkat dua kali lipat, berarti cadangan pangan yang siap digunakan tidak tidak lebih hanya untuk waktu 1-3 bulan. Tentunya kasusnya berbeda pada setiap komoditas pangan.

Poinnya, gejolak harga pangan menjelang lebaran hanyalah faktor pemicu dari permasalahan permintaan, penawaran, dan sistem distribusi pangan yang merupakan output dari permasalahan pembangunan di bidang pertanian.

Sejak era reformasi, sektor pertanian seperti mengalami pengkerdilan. Seolah Indonesia tidak berada pada fitrahnya, yaitu sebagai negara agraris. Faktor produksi pertanian disektor hulu, intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, alat dan mesin pertanian, modal kerja, benih dan sosial kapital mengalami penurunan/kemunduran. Keunggulan komparatif yang dimiliki tidak disukuri dengan pengelolaan & pemanfaatan di bidang pertanian yang baik, terencana dan manfaat, bahkan terkesan diabaikan.

Pembangunan di bidang pertanian tidak lagi menjadi prioritas. Pembangunan yang berlandaskan teritorial (geografis), seperti pembangunan desa tidak akan berjalan tanpa pembangunan di bidang pertanian. Pertanian tidak hanya soal bercocok tanam, tetapi meliputi budaya, nilai-nilai agraris yang tertanam pada sebagian besar masyarakat Indonesia, yang menopang tata sosial masyarakat.

Sekarang ini kata pertanian yang berasal dari kata "tani mengalami gradasi nilai, diartikan sebagai sesuatu yang tidak menarik secara ekonomi, mengarah ke makna ketertinggalan. Sehingga, profesi dibidang pertanian dipandang tidak membanggakan. Maka, tidak heran jika jumlah petani dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan.

Kata "pembangunan" dan kata "maju" yang biasa menjadi kata pendamping pertanian hanya dipandang dari sisi materialisme. Bagaimana bisa melakukan pembangunan pertanian untuk kesejahteraan bersama dengan hanya pendekatan materialisme, menafikan pendekatan kultural sementara lebih dari 60% petani Indonesia adalah petani gurem, dengan lahan kurang dari 2,4ha.

Menghadapi kenaikan harga pangan menjelang puasa dan lebaran seharusnya pemerintah mengacu pada pada rencana jangka panjang pembangunan di bidang pertanian. Tolak ukur impor dan besaranya merujuk pada rencana peningkatan produksi komoditas pangan.

Pembangunan sistem distribusi, logistik dan tata niaga mengacu pada tujuan dimana pemerintah sebagai faktor pensetabil/atau penyeimbang, kontrol terhadap monopoli bahan pangan yang bisa saja terjadi.

Jika bukan bahan pangan pokok, dan sudah komitmen tidak impor ya jangan impor. Uregnsinya dapat dihitung dengan tolak ukur waktu menjelang lebaran sampai lebaran berbading lurus dengan tingkat keberhargaan bahan pangan, termasuk apakah bahan pangan itu ada subtitut-nya atau komplementernya.

Intinya tidak harus semua bahan pangan menjelang lebaran harganya stabil dan terjangkau. Bahan pangan dengan jumlah (kuantitas) kebutuhan kecil harganya bisa tidak murah.

Penulis: Antasena Wiyono & Arif Santoso

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: