Sejumlah pekerja industri kehutanan daerah, khususnya Perawang, Provinsi Riau mengungkapkan keresahannya karena isu tentang penerapan aturan baru yakni Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) P17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
Karyawan PT Arara Abadi, Alfian (48) di Perawang, Jumat (7/4/2017), dalam keterangan tertulis yang di terima di Jakarta, mengaku resah karena peraturan itu dikhawatirkan akan berdampak pada mata pencarian mereka.
"Kami terus terang resah karena jika hal itu diberlakukan dikhwatirkan akan ada pengurangan area pengelolaan perusahaan dan itu otomatis, kita akan dikurangi juga," kata Alfian yang sudah bekerja sejak 1992 ini.
Hal senada diungkapkan Syarif Hidayat (46), karyawan dari bagian konservasi perusahaan yang sama, mengatakan isu tersebut sudah mulai jadi perbincangan di kalangan pekerja.
"Biasanya peraturan itu kan yang pertama diketahui hanya di bagian tertentu, nah karena ini isu sensitif, sebagian sudah pada tahu," kata Syarif.
Sebagai pekerja Syarif mengaku ikut 'galau' karena mereka rata-rata sudah belasan sampai puluhan tahun kerja. "Mau cari kerja lain, sudah pada tua," ujarnya.
Endri Tanjung ( 45), Praktisi Water Manajemen, pada unit usaha Ratu Pratama Makmur, berpendapat, dampak dari regulasi baru tersebut akan dirasakan banyak orang, tidak hanya karyawan perusahaan.
"Kita masih bersinggungan dengan masyarakat lokal yang ada di sekeliling. Mereka itu bergantung kehidupannya pada usaha ini juga,? ujar Endri.
Endri mencontohkan, ada usaha yang dilakukan dengan pola kemitraan, misalnya masyarakat ada yang mengambil usaha kebersihan. Kalau beberapa unit usaha tidak lagi berjalan, otomatis usaha itu akan terhenti juga.
Hingga saat ini, belum ada pembicaraan formal antara karyawan dan perusahaan mengenai hal tersebut.
Alfian yang juga menjabat sebagai sekretaris II, Serikat Pekerja Mitra Abadi Riau mengatakan, "Kita akan adakan pertemuan dan diskusi-diskusi dulu di internal serikat pekerja, untuk menyikapi persoalan ini. Nanti apa yang bisa kita lakukan, minimal menyampaikan aspirasi kita," ujar Alfian.
Sementara Endri berharap, regulasi tersebut bisa dikaji lagi.
"Kalau di Permen kan, bisa dapat usaha pengganti. Yang mau ditukar itu ada nggak, mana petanya, mana tempatnya, bagaimana kondisinya, bagaimana populasinya, konflik atau tidak, kita tidak tahu," katanya.
Peraturan Menteri KLHK P.17 tahun 2017, tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri, di dalamnya mengatur tentang perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung ekosistem gambut.
Pada pasal 8e menyebutkan, perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung, yang telah terdapat tanaman pokok pada lahan yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTI), tanaman yang sudah ada, dapat dipanen satu daur dan tidak dapat ditanami kembali.
Kemudian wajib dilakukan pemulihan dan dialokasikan sebagai kawasan fungsi lindung ekosistem gambut dalam tata ruang IUPHHK-HTI.
Pasal di atas, membuat banyak pemegang IUPHHK-HTI berpotensi kehilangan sebagian area garapan.
Selanjutnya pada pasal 8G berbunyi, pemegang IUPHHK-HTI yang areal kerjanya di atas atau sama dengan 40 persen, ditetapkan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung, dapat mengajukan areal lahan usaha pengganti (land swap) yang diatur dengan peraturan menteri. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: