Ketua Ministry of Vape Indonesia (MOVI) Dimas Jeremia mengungkapkan, Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) pernah melakukan survei yang menunjukkan bahwa perokok aktif bisa berhenti merokok melalui media rokok elektrik terlebih dulu.
"Desember 2016 kami pernah melakukan survei pada 1.560 orang yang pernah vaping selama enam bulan hingga satu tahun, hasilnya 29 persen dia berhenti dari rokok dan berhenti dari vaping," kata Dimas di Jakarta, Kamis (9/11/2017).
Lanjutnya, Sementara sebanyak 44 persen responden memilih beralih dari rokok konvensional ke vape yang dinilai bisa mengurangi bahaya kesehatan dibanding rokok yang dibakar.
Serta 27 persen sisanya ialah responden yang memilih untuk kembali mengonsumsi rokok konvensional dengan berbagai alasan seperti penggunaan rokok elektrik yang tidak sederhana.
Dimas menjelaskan vape dengan rokok elektrik memiliki persamaan yaitu sama-sama alat penghantar nikotin.
Namun perbedaanya vape dinilai lebih aman karena mengalirkan nikotin dengan proses pemanasan yang seutuhnya mengalirkan zat yang ada dalam cairan vape. Sementara rokok tradisional yang dibakar mengalirkan nikotin dan berbagai zat berbahaya lainnya hasil pembakaran ke dalam tubuh.
"Tapi rokok karena dibakar, maksud hati mau mengisap nikotin, tapi yang masuk itu asap-asapnya, semua kertas, tembakau, lem, segalanya masuk," kata dia.
Selain itu, Ketua Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Achmad Syawqie Yazid menjelaskan inovasi dari produk tembakau alternatif dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah adiksi rokok.
"Tidak mudah mengatasi adiksi masyarakat terhadap rokok, sehingga perlu solusi strategis untuk menekan dampak buruknya. Salah satu caranya adalah dengan memperkenalkan produk tembakau alternatif yang memiliki risiko kesehatan lebih rendah melalui penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi," ujar dia.
Pada 2016 YPKP melakukan penelitian terhadap salah satu produk tembakau alternatif yaitu rokok elektrik yang hasilnya menunjukkan memiliki risiko kesehatan jauh lebih rendah dibanding rokok yang dikonsumsi dengan dibakar.
"Hal ini terjadi karena produk yang tidak dibakar mengeliminasi tar, racun berbahaya yang dihasilkan dari pembakaran tembakau dan sebagian sifat karsinogenik," kata Syawqie.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil