Gaduh penggunaan uang elektronik untuk pembayaran transaksi di jalan tol terus berlangsung. Dengan dalih elektronifikasi, pemerintah mendorong masyarakat untuk bertransaksi menggunakan uang elektronik sebagai medium pembayarannya. Dengan alasan itu pula, pemerintah memberikan kelonggaran bagi bank yang belum memenuhi syarat menjadi bank penerbit untuk menerbitkan uang elektronik agar tidak terjadi monopoli.?
Praktik penggunaan uang elektronik oleh lembaga perbankan di Indonesia sejatinya sudah dimulai sejak tahun 2007. Kala itu, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang memelopori penerbitan uang elektronik dalam bentuk kartu Flazz BCA. Kemudian, hal tersebut diikuti oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (Mandiri) yang pada tahun 2009 mengeluarkan kartu E-Toll. Penggunaan uang elektronik terus berkembang dengan diterbitkannya Brizzi oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) dan Tapcash oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI).
Elektronifikasi ditargetkan mulai berjalan pada 1 Oktober 2017. Namun dalam perjalanannya, praktik tersebut masih menuai pro dan kontra, mulai dari rencana peraturan adanya top up fee uang elektronik yang dibebankan ke masyarakat, juga klaim lembaga perbankan yang masih merugi jika tidak ada top up fee.
Menyikapi hal itu, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan saat ini terdapat 25 penerbit uang elektronik yang resmi terdaftar di Bank Indonesia (BI). Sebelas di antaranya merupakan lembaga perbankan, meski yang menguasai pasar hanya ada 4 bank. Itu pun rata-rata merupakan bank? yang menyandang status sebagai bank BUKU IV.?
Sementara itu, penerbit uang elekronik yang tidak berbasis perbankan, seperti Gopay, Grabpay, Tcash, dan lainnya sering dianaktirikan karena bukan berbasis bank. ?Namun, permasalahannya bukan di situ,? ungkap Bhima, ?Permasalahannya, uang elektronik yang ada sekarang memiliki biaya yang cukup?mahal infrastrukturnya karena berbasis kartu plastik.?
?Anehnya, uang elektronik bukannya mengurangi biaya, tapi justru membuat lebih mahal, mulai dari penyediaan EDC dan perawatannya. Inovasi justru tidak membawa efisiensi karena modelnya oligopoli bank,? katanya kepada Warta Ekonomi, Senin (2/10).
Lebih lanjut, dirinya mengatakan hingga Juli 2017, terdapat 69 juta buah kartu perdana. Jika harga penjualan setiap kartunya itu sekitar Rp20.000, pendapatan bank mencapai Rp1,38 triliun. Ditambah, bank bisa saja mengklaim rugi karena selama ini tidak ada transparansi berapa persisnya investasi dan perawatan infrastruktur yang dikeluarkan bank penerbit, padahal itu adalah uang masyarakat.?
Nilai pendapatan bank berpotensi semakin besar dengan adanya rencana peraturan biaya top up off us yang senilai maksimal Rp1.500. Jika diasumsikan, setiap masyarakat melakukan top up sebanyak 1 kali dalam setiap bulan, bank sudah bisa mencatatkan pendapatan Rp1,24 triliun per tahunnya.
Namun, pandangan berbeda diungkapkan oleh Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja. Dia mengklaim bahwa selama ini BCA, melalui kartu Flazz, belum meraup untung atas transaksi kartu elektroniknya. Dari 13 juta kartu Flazz yang beredar, pendapatan yang terkumpul hanya mencapai Rp15 miliar, padahal biaya yang harus dikeluarkan untuk EDC mencapai Rp80 miliar. Artinya, masih?terdapat gap yang harus ditutupi hanya untuk mencapai impas.
Jahja mengakui saldo rata-rata yang berada dalam kartu Flazz hanya berkisar di angka Rp40 ribu. Artinya, jika dikalikan dengan jumlah kartu beredar, nilainya baru mencapai Rp200-an miliar.Sementara itu, menyoal rencana peraturan top up fee untuk uang elektronik, dia mengatakan BCA akan tunduk pada peraturan yang berlaku. Perihal adanya potensi fee based income yang didapatkan dengan adanya aturan baru tersebut, Jahja menampik hal tersebut. Pasalnya, selama ini BCA tidak pernah mengambil keuntungan dari top up, biaya yang timbul merupakan biaya yang dikenakan oleh pihak ketiga atau lembaga di luar BCA.
?Elektronifikasi Flazz di ruas tol itu bentuk pelayanan kepada masyarakat, kami tidak mengambil keuntungan di situ. Ada banyak biaya yang harus disetorkan, seperti biaya maintenance gate di Jasa?Marga yang nilainya mencapai Rp5 miliar per tahun, belum lagi untuk biaya EDC,? katanya belum lama ini
Lebih lanjut, dirinya mengatakan perihal inovasi dan digitalisasi memang memerlukan banyak biaya. Seperti pada tahun ini, BCA mengalokasikan dana sekitar Rp2?triliun hanya untuk pengembangan sistem infomasi teknologi (IT). Dana tersebut banyak digunakan untuk software, ATM, dan e-money. Dengan biaya yang cukup besar, BCA berharap dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat hingga dengan sendirinya masyarakat akan nyaman untuk bertransaksi di BCA.
Sementara itu, Bank Mandiri menyatakan tidak akan memungut biaya untuk top up di jaringan miliknya. Namun, untuk pungutan biaya di luar jaringan Bank Mandiri, Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan itu merupakan pihak ketiga, Indomaret misalnya. Mereka menggunakan infrastruktur pihak ketiga untuk?melakukan top up.
Terus digenjotnya layanan digital ini bukanlah tanpa alasan. Dengan layanan digital, lembaga perbankan dapat menghemat banyak biaya yang selama ini dikeluarkan. Bahkan untuk lebih memaksimalkan penetrasinya, Himpunan Bank Negara?(HIMBARA) menggratiskan biaya top up yang terjadi di dalam jaringannya.
Bhima menambahkan, selama ini, beban terbesar dalam penggunaan uang elektronik berada pada maintenance EDC. Untuk itu, agar tidak terjadi oligopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, Bhima menyarankan agar mesin EDC yang berlaku hanya satu, tapi kartu penerbitnya boleh berbeda. Kemudian, EDC tersebut juga diterbitkan oleh bank BUMN sehingga pemerintah memiliki kuasa untuk menentukan besaran tarif. Melalui hal itu, efisiensi dapat dicapai dan transaksi bisa lebih adil bagi masyarakat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Gito Adiputro Wiratno
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: